Beginilah Orang-orang "Wahabi" Menyambut Tamu

, by Unknown


Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allah Ta’ala sebagai seorang Rasul, seluruh kebiasaan buruk orang-orang jahiliyah dirubah dengan syari’at Islam yang paripurna. Sedangkan kebiasan-kebiasaan yang sejalan dengan ajaran agama Islam tetap dipertahankan dan dijadikan bagian dari syrai’at Islam. Di antara kebiasaan sekaligus kelebihan bagi bangsa Arab pada masa itu adalah “Ikroomu Ad-Dhoif” atau memuliakan tamu. Di dalam Islam, memuliakan tamu adalah salah satu kewajiban bagi tuan rumah. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)

Selama kurang lebih 4 (Empat) tahun saya tinggal di Madinah untuk belajar, untuk yang pertama kalinya saya bertamu ke rumah Su’udiy (orang Saudi) tadi malam. Itupun karena di ajak oleh seorang kawan yang sudah 6 tahun bermukin di Madinah bertugas sebagai seorang Muadzdzin (orang yang mengumandangkan azan) di Jami’ Ummil Mukminin, salah satu Masjid di kota Madinah Nabawiyah.

“Bang, mau ikut ke rumahnya Syeikh Sulthon ndak?” Tanya kawan saya yang saat ini Beliau juga sedang menyelasaikan belajarnya di Ma’had Harom Nabawi.

“Hmmm..Boleh.” Jawab ku singkat setelah bergumam beberapa detik, memikirkan tawarannya “No” or “Yes”.

“Setelah Isya langsung ya.” Tambahnya.

Shohibul bait adalah salah satu dosen pasca sarjana di Fakultas Dakwah wa Ushuluddin, Universitas Islam Madinah KSA. Beliau juga lah yang ‘merekrut’ dan ‘memboyong’ kawan saya untuk tinggal di Saudi dan memintanya untuk menjadi Muadzin di Sini.

Tidak lama setelah sholat Isya, kami berdua pun langsung beranjak pergi menuju rumah Syeikh yang tidak terlalu jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki. Tidak lama berjalan, tiba-tiba ada kawan lain yang datang dengan mobilnya untuk menjemput kami. Nah, beliau inilah yang awalnya menyampaikan undangan Syeikh. Setibanya di depan rumah Syeikh, kawan saya menelpon, mengabarkan bahwa kami sudah sampai sekaligus mewakili ucapan izin kami yang menjadi salah satu adab dalam bertamu.

Selang beberapa detik, tuan rumah yang tidak lain adalah Syeikh sendiri yang membukankan kami pintu. Menyambut tamunya sehangat mungkin sebagaimana layaknya orang-orang Saudi ketika bertemu dengan saudaranya. Macam-macam kalimat yang keluar dari lisannya; “Ahlan”, “Kaifa haluk”, “Kaifal umuur”, “tafadhdhol”, “Marhaban”, “Kaifa dirosah”, dan seterusnya yang dibarengi dengan senyum yang terukir di wajah Arabnya.

Kami bertiga pun dipersilakan masuk ke ruangan tamunya. Yang pertama kali beliau lakukan adalah memberikan kami hadiah berupa buku karya beliau sendiri. Buku pertama adalah “Juhuudu Al-Jaami’ati Al-Islaamiyyati Fii Majaali Ad-Diroosaat Al-Istisyrooqiyyah”, yang kedua “Al-Istisyrooq Al-Faronsiy Wa As-Siiroh An-Nabawiyyah”, dan yang ketiga “Al-Mujtama’ As-Su’uudiy wa At-Taghyiir” karya Dr. Muhammad bin ‘Abdillah As-Salumiy. Dari judulnya, sepertinya beliau ini adalah dosen yang ‘takhoshshush’ atau fokus dibidang orientalisme.

Sambil menunggu tamu beliau yang lain, kami disungguhkan dengan kopi khas Arab, kopi yang mesti diseruput dengan kuma sukkari agar rasa pahitnya tidak membuat kening berkerut. Hal yang menarik bagi saya pribadi dari cara orang-orang Saudi ketika menjamu tamunya adalah mereka sendiri yang menuangkan minuman dari teko/ceret ke dalam gelas dan ‘bergerliya’ dari satu kursi ke kursi lainnya tempat tamunya duduk.

Ketika kawan saya ingin memberikan isyarat ingin membantu dan menggantikan posisi syeikh untuk menuangkan kopinya,

“Syeikh, biar ana yang nuangin.” Ujar kawan saya yang juga bertugas sebagai muadzin di Masjid tidak terlalu jauh dengan masjid kawan saya yang pertama.

Mendengar tawaran tsb, Syeikh malah berkata :
“Saya bisa ko’..!”

Jawaban yang membuat kami semua tersenyum.

Di sela-sela obrolan kami, syeikh memberikan nasihatnya. Nasihat berharga bagi penuntut ilmu yang kerdil seperti kami. Nasihat untuk selalu Ikhlas, menghiasi diri dengan akhlak mulia, dan memperbaiki Iman dengan amal dan ibadah kepada Allah subhanahu wa Ta’ala sebagai bekal untuk berdakwah nanti.

Setelah semua tamu beliau datang, kami dipersilakan untuk masuk ke ruangan lain yang dikhususkan untuk makan. Lagi-lagi saya dibuat terkagum-kagum, lagi-lagi dengan tangan Syeikh sendiri beliau menuangkan nasi dan lauknya yang sudah dihidangkan ke dalam pring kami masing-masing. Sebelumnya, beliau juga telah menuangkan makanan pembuka khas arab yang mereka sebut dengan ‘Syurbah’. MasyaAllah, saya pribadi merasa dilayani oleh istri sendiri ketika di rumah, hehehe. Beliau benar-benar memuliakan tamunya dengan sepenuh hati, semua pelayanan dilakukan sendiri; membuka pintu sendiri padahal beliau punya pembantu, menuangkan minuman dan makanan sendiri untuk tamu-tamunya. Dan yang tidak kalah luar biasanya adalah Beliau juga mengajak supirnya untuk makan bersama kami. Allahu Yubaarik Fiikum Ya Syeikh..!

Demikian, pengalaman pribadi yang menurut saya layak untuk dibagikan kepada orang lain. apatah lagi kepada orang-orang yang selalu sinis pada Negara Saudi secara umum dan para ulamanya secara khusus. Negara yang disebut dan dijuluki wahabi. Julukan yang disematkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tujuannya hanya satu, memalingkan kaum Muslimin dari kemurnian agam Islam yang usung kembali oleh Syeikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab sebagaimana yang pernah diusung oleh para Nabi dan Rasul sholatullahi wa salamuhu ‘alaihim dalam mendakwahkan tauhid.

Semoga ada manfaatnya.
______________
Madinah Nabawiyah 07 Sya’ban 1437 H.

Ibnu Hilmy Hedi Kurniadi Sambasiy
read more

SYEIKH BIN BAZ & PENGHORMATAN BELIAU TERHADAP ULAMA

, by Unknown

Malam ini adalah pertemuan pertama, murid sekaligus menantu Syeikh Ibnu Utsaimin rohimahullah, Syeikh Dr. Kholid Mushlih hafidhohullah mengisi kajian di Masjid Nabawi.

Di sela-sela penjelasan beliau terkait muqoddimah yang ditulis oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahullah di dalam kitab beliau Bulughul Marom, Syeikh menceritakan kejadian yang beliau dengar dan saksikan sendiri, kurang lebih begini kisahnya :

Suatu saat, di sebuah majlis ilmu yang diisi oleh Syeikh Bin Baz rohimahullah, ketika sang qori’ (orang yang biasanya membaca kitab sebelum Syeikh menjelaskannya) mulai membaca :

قال ابن كثير رحمه الله

“Ibnu Katsir rohimahullah berkata,”

Karena sang qori langsung menyebut Ibnu Katsir, maka Syeikh menegurnya,

الإمام

“Al-Imam,” (Seorang Imam)

Pinta Syeikh kepada sang qori untuk menambah kata ‘Al-Imam’ sebelum menyebut Ibnu Katsir.

Lalu sang qori kembali mengatakan :

قال الإمام ابن كثير

“Al-Imam Ibnu Katsir berkata,”

Mendengar kalimat ‘rohimahullah’ luput dari lisan sang qori, Syeikh kembali mengingatkan :

رحمه الله

“Rohimahullah,” (Semoga Allah senantiasa merahmatinya)

Karena beberapa kali ditegur, sang qori pun akhirnya terjaga dan berkata :

قال الإمام العلامة ابن كثير رحمه الله

Mendengar itu, syeikh lantas berkata :

وأحسنوا إن الله يحب المحسنين

“Dan berbuat baiklah kalian, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik..!”

Selesai...
_________
MasyaAllah..! Begitu mulianya akhlak Syeikh Bin Baz rohimahullah. Betapa hormatnya beliau kepada para ulama, sampai-sampai dalam hal penyebutan nama saja harus sedemikian rupa.

Demi Allah..! Sungguh sangat jauh berbeda dengan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh ahlul bida’ wa ahwa (pengekor hawa nafsu), oleh orang-orang yang memerangi dakwah tauhid, dakwah sunnah yang dibawa oleh Syeikh rohimahullah.

Di Universitas Islam Madinah sendiri, kami sering kali di ingatkan akan pentingnya menghormati dan memuliakan ulama, termasuk ketika membaca kitab-kitab karya mereka rohimahullah. Di saat ingin membaca kitab shohih Bukhori misalnya, tidak boleh langsung membaca haditsnya seperti “Haddatsanaa fulaan, wa haddatsanaa fulaan, dst..”. akan tetapi harus mengatakan penyusunnya terlebih dahulu, “Qoola Al-Imam Al-Bukhori rohimahullah, dst..”

Maka alangkah kejinya orang-orang yang mengatakan bahwa masyayikh Saudi (yang mereka gelari dengan salafi wahabi) tidak hormat terhadap para ulama, suka mentahrif kitab-kitab ulama, dan sebagainya. Sebab kenyataannya, terhadap penyebutan nama saja mereka sangat berhati-hati, apalagi sampai mengubah karya mereka rohimahullah ajma’in.

Dan, akhirnya saya tutup kisah singkat ini dengan perkataan Imam Ahmad rohimahullah :

لحوم العلماء مسمومة؛ مَن شمها مَرِضَ، ومَن أكَلَها مات


“Daging para ulama itu beracun, Barang siapa yang menciumnya, ia akan sakit. Dan barang siapa yang memakannya, ia akan mati.”


Sekian, semoga ada manfaatnya..

_______
Madinah, 18 Muharrom 1437 H
Ibnu Hilmy Hedi Kurniadi El-Borneowy
read more

Dasar Wahabi..!! Mereka Memang Tidak Tahu Toleransi..!!

, by Unknown


Berikut ini, akan kami paparkan, pengalaman seorang teman yang dituturkan pada saya melalui WA perihal ketidak toleransian orang-orang saudi, dengan wahabi mereka dijuluki. Selamat menyimak..

“Waktu kami sedang berada di Masjid Ar-Rahmah atau dahulu dikenal dengan Masjid Fatimah atau populer di kalangan kaum muslimin Indonesia dengan Masjid Terapung, Jedah, Saudi Arabia. Setelah menikmati pantai Laut Merah dengan matahari tenggelamnya, kami menunaikan shalat magrib berjamaah.

Karena kami musafir, maka setelah menyelesaikan shalat kamipun beranjak untuk menjama’ shalat isya. Majulah seorang bapak (dari Indonesia juga) untuk menjadi imam, namun kami dipanggil oleh beberapa warga Saudi untuk ikut berjamaah, kamipun mendekat.

Namun terjadi sedikit keributan kecil, sebab bapak-bapak Saudi hendak shalat magrib dengan imam salah seorang dari mereka dan telah maju. Sementara bapak-bapak Indonesia menolak untuk bermakmum kepadanya karena akan shalat isya.

Salah seorang bapak Saudi dengan pelan menjelaskan bahwa itu tidak masalah sambil menerangkan tata-caranya.
Akan tetapi bapak-bapak Indonesia tetap menolak, akhirnya bapak Saudi yg tadinya hendak jadi imam (dari penampilannya, tampak seperti orang berilmu) pun tersenyum dan berkata,

“Jika demikian silahkan bapak jadi imam dan shalat isya dan biar kami yang mengikuti.”

Akhirnya keributan kecil pun reda dan shalat berjamaah berjalan lancar. Alhamdulillah.”

Allaahu Akbar..!!
Begitulah kiranya “ketidak toleransian” (dengan tanda petik) orang-orang saudi, wahhabi katanya, Seringkali mereka dicap sebagai kaum yang semena-mena. Sekelumit kisah di atas adalah salah satu bukti bahwa tuduhan orang-orang yang benci pada semua yang berbau saudi, tuduhan hoby dan senang memecah belah ummat tidak serta merta benar adanya.

Lihatlah..!! Camkan secara seksama..!! Bagaimana mereka lebih mementingkan persatuan dari pada perpecahan dan keributan. Orang saudi yang sudah siap diposisi imam rela mundur dan mempersilakan orang indonesia untuk menggantikan posisinya. Sekali lagi, ini mereka lakukan demi persatuan jamaah kaum muslimin.

Kejadian serupa juga pernah saya alami, masih di masjid yang sama, masjid terapung. Akan tetapi kisah saya pribadi ini akan menampakkan siapa sebenarnya yang senang memecah belah ummat. Begini kisahnya,

“Seperti biasanya, jamaah umroh yang hendak kembali ke tanah air melalui bandara Jeddah, Saudi Arabia, mereka akan menyempatkan diri untuk singgah di masjid terapung. Saat itu, kami tiba sebelum sholat dzhuhur, maka setelah waktu sholat tiba kami dan para jamaah asal Indonesia lainnya menunaikan sholat dzuhur secara berjamaah. Namun sangat miris melihatnya, ternyata setelah selesai sholat di belakang kami ada jamaah lain asal Indonesia yang membuat jamaah baru sebelum sholat usai. Tak hanya itu, belum selesai mereka sholat, datang lagi jamaah asal Indonesia ingin membuat jamaah baru, akan tetapi Alhamdulillah dapat dicegah oleh orang Saudi dan menyuruh mereka untuk menunggu jamaah tadi selesai. Namun di posisi lain di dalam masjid, ada lagi jamaah lain asal Indonesia yang tidak sabar untuk menunggu dan segera menunaikan sholat, akhirnya dalam satu masjid ada beberapa jamaah yang sholat sendiri-sendiri, Allahul Musta’an..”

Maka sebenarnya yang suka memecah belah jamaah itu siapa, pak..?! yang hoby memecah belah ummat siapa, kiai..?! anda atau orang-orang wahhabi..?!


Maka, silakan direnungkan..!! Semoga ke depan tidak ada istilah-istilah wahabian yang menyudutkan orang-orang yang istiqomah menerapkan syariat Islam.
________
MED, 29|03|1436 H.
read more

NYUNNAH DENGAN SUNNAH

, by Unknown

Kali ini, saya akan berbagi kisah penuh hikmah, sekaligus cambuk bagi diri pribadi dan teman-teman sekalian yang mungkin pernah mengalami hal serupa. Satu kejadian yang diceritakan guru kami saat menjelaskan salah salah hadits dari kitab Shohih Bukhori, beliau hafidzohullah menceritakan sebuah kisah singkat namun sarat akan makna, kurang lebih begini kisahnya :

Suatu saat, usai sholat berjamaah di sebuah masjid, ada salah seorang jamaah asal Mesir ingin bersalaman dengan jamaah lainnya yang sudah mengenal sunnah. Tatkala jamaah asal Mesir mengulurkan tangan kanannya, seketika ia dengan tegas namun keras mengatakan “bid’ah.,!” sambil menepis tangan yang menjulur di hadapannya.

Spontan jamaah yang ditepis tangannya berucap :
“APAKAH CARA ANDA INI, TERMASUK SUNNAH..?!

(selesai)

Ya Subhaanallah, mendengar cerita ini serentak ruangan kelas bergemuruh oleh suara mahasiswa dengan komentar masing-masing, tampaknya sebagian mereka menyesalkan apa yang telah dilakukan oleh orang yang terlihat telah menjalankan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, atau mungkin ada pula yang tersentak dengan perkataan jamaah yang ingin bersalaman tadi. Saya pribadi termasuk mahasiswa yang hanya mampu “geleng-geleng kepala” sedang dalam hati meng-iya-kan apa yang diucapkan oleh jamaah tadi dan bergumam :

“Ini adalah salah satu dari sekian banyak kejadian yang dialami oleh mereka (mungkin salah satu dari mereka adalah saya) yang dengan lantang menyuarakan sunnah, akan tetapi terjatuh dalam kesalahan fatal yang menimbulkan dampak negative bagi dakwah sunnah itu sendiri. Allahul Musta’aan, ampunkan kami ya Ghoffar..”

Pelajaran yang dapat dipetik :

Sejatinya, sunnah itu sendiri mengandung makna akhlak yang mulia, lemah lembut dalam bertingkah dan bertutur kata, sopan santun, serta perilaku terpuji lainnya. Maka, akhlak yang mulia itu adalah sunnah, sunah yang sudah mulai tersingkirkan, sunnah yang dianak tirikan. Betapa banyak orang yang membenci sunnah karena kejelekan akhlak dan perilaku penjunjung sunnah itu sendiri.  Padahal Rasulullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia,

إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.”  (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Ahmad, dan Al-Hakim. Dinyatakan Shohih oleh Syaikh Al-Albani)

Dahulu, para salafus Sholeh  sangat memperhatikan akhlak dan adab.
Ibnul Mubarok berkata,

تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين

“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun, sedangkan mempelajari ilmu selama 20 tahun.” (Ghoyatu An-Nihayah Fii Thobaqoti Al-Qurro’ 1/198)

Beliau juga berkata,

كاد الأدب يكون ثلثي العلم

“Hampir-hampir adab itu bagian sepertiga dari ilmu.” (Shifatu As-Shofwah 4/ 145)

Ibnu Sirin berkata,

كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم

“Mereka (para ulama) dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka mempelajari ilmu.” (Al-Jami’ Li Akhlaqi Ar-Rowi Wa Adabi As-Sami’ 1/80)

Sebagian salaf berkata :

نحن إلى قليل من الأدَب أحوجُ منا إلى كثيرٍ من العلم

“Kami lebih butuh mempelajari adab daripada banyak menguasai ilmu.” (Madarijus Salikin 2/376)

‘Abdullah bin Wahb berkata,

ما نقلنا من أدب مالك أكثر مما تعلمنا من علمه

“Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal adab dibanding ilmunya.” (Siyar A’lamin Nubala’ 8/113)

Sufyan Ats-Tsauriy berkata :

كانوا لا يخرجون أبناءهم لطلب العلم حتى يتأدبوا ويتعبدوا عشرين سنة

“Dahulu mereka (para ulama) tidak memperkenankan anak-anak mereka untuk keluar menuntut ilmu sampai mereka memiliki adab dan beribadah selama 20 tahun.” (Hilyatu Al-Awliya’ 6/316)

Al-Hasan Al-Bashriy berkata,

كان الرجل يطلب العلم فلا يلبث أن يُرى ذلك في تخشّعه وهديه ولسانه ويده

“Dulu, bila seseorang telah menuntut ilmu, maka tidak lama kemudian akan terlihat pengaruhnya pada kekhusyuannya, lisannya, dan tangannya.” (Az-Zuhd Ibnu Mubarok 26)

Zakariya Yahya bin Muhammad Al-‘Anbariy berkata,

علم بلا أدب كنار بلا حطب ، وأدب بلا علم كجسم بلا روح

“Ilmu tanpa adab bagaikan api tanpa kayu, dan adab tanpa ilmu bagaikan badan tanpa ruh.” (Al-Jami’ Li Akhlaqi Ar-Rowi Wa Adabi As-Sami’ 1/80)

Oleh karenanya, mulai saat ini mari kita mengamalkan dan mengajak orang lain pada sunnah sesuai dengan sunnah ( akhlak ) yang telah dicontohkan oleh Baginda Rasul Muhammad sallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam ucapan maupun perbuatan.

Sekian, semoga ada manfaatnya.
Wallahu Ta’ala A’lam wa Ahkam.
__________
MED, 28 Rabi’ul Awwal 1436 H.

Hedi Kurniadi bin Helmi bin Su’ud
read more

Berdzikir Saat Mengantri

, by Unknown

“Ritual” mengantri di Saudi merupakan perkara yang lazim, tidak bisa tidak. Mungkin salah satu faktornya ialah kunjungan kaum muslimin dari berbagai penjuru negeri yang tiada henti. Tak ayal deretan-deretan manusia bak kereta api yang bersambung dari satu gerbong ke gerbong lainnya akan anda saksikan sekaligus rasakan; di toilet, di rumah makan siap saji (seperti Al-Beik), di dalam terminal saat membeli tiket bus, di gerai telekomunikasi ketika ingin membeli kartu perdana seluler, di kantor pengiriman uang (seperti di enjaz), saat pembagian snack atau nasi saat musim haji, dst.

Nah, di tempat-tempat umum seperti itu biasanya ada stiker kalimat-kalimat thoyyibah yang ditempel di dinding atau tiang seperti :

سبحان الله
والحمد لله
ولا إله إلا الله
الله أكبر

Atau ajakan untuk bersholawat, dst.

Tak terkecuali di pom bensin yang ada di kawasan wadi ‘aqiq dekat dengan kampus univ. Islam Madinah, perhatikan gambar dibawah, anda akan melihat kalimat yang mengajak pengendara mobil yang ingin mengisi bensin atau siapa saja yang melewati pom tsb untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala,

لا تنس ذكر الله

 “JANGAN LUPA DZIKIR (MENGINGAT) ALLAH..!!”

Sebelum kalimat ajakan untuk berdzikir tsb ada tulisan :

لا إله إلا أنت سبحانك إني كنت من الظالمين

Allaahu Akbar..!!
Sekilas memang tanpak remeh, tapi stiker-stiker seperti itu mengandung faidah yang melimpah :

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ﴿٤١﴾ وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

“Wahai orang-orang yang beriman Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” (QS.Al-Ahzab : 41-42)

Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman, yang artinya,

“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (TQS. Al-Ahzab : 35)

Satu ketika, seorang arab badui datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata :

يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ شَرَائِعَ الْإسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ ، فَأَنْبِئْنِيْ مِنْهَا بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ ؟ قَالَ : لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat-syariat Islam sudah banyak pada kami. Beritahukanlah kepada kami sesuatu yang kami bisa berpegang teguh kepadanya ?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah lidahmu senantiasa berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dishohihkan oleh Al-Albaniy)

Selain itu, orang yang menempel stiker-stiker tsb juga akan kebanjiran pahala karena telah menunjukkan orang lain untuk berdzikir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

من دل على خير فله مثل أجر فاعله

“Barang siapa yang menunjukkan (orang lain) kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan ganjaran seperti orang yang mengerjakannya.” (HR.Muslim)

Ya..beginilah kondisi negara yang seringkali disalahkan, dicaci maki, dijuluki wahabi, tanduk setan dari nejd, pemecah belah ummat, dan laqob-laqob buruk lainnya.

Kembali saya tanyakan, apakah tuduhan-tuduhan seperti itu 100% benar adanya..?!

Silakan dijawab lagi dengan hati yang lapang selapang mata memandang..!!

Sekian, semoga ada manfaatnya..

__________

MED,23|03|1436 H.



read more

Suasana Pom Bensin di Saudi Saat Waktu Sholat Tiba

, by Unknown

Maaf saja, ini bukan masalah harga bensin naik atau turun. Bukan pula masalah untung atau rugi. Tapi ini masalah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, tiang agama, pokok ke-2 ajaran Islam, dan amalan yang pertama kali dihisab,

وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah: 43)

بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ, وَحَجِّ الْبَيْتِ, وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun atas lima pekara : Persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasul Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah haji, dan berpuasa Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim)

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلَاةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
“Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah shalatnya. Rabb kita Jalla wa ‘Azza berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia lebih mengetahui, “Periksalah shalat hamba-Ku, sempurnakah atau justru kurang?” Sekiranya sempurna, maka akan dituliskan baginya dengan sempurna, dan jika terdapat kekurangan maka Allah berfirman, “Periksalah lagi, apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah?” Jikalau terdapat shalat sunnahnya, Allah berfirman, “Sempurnakanlah kekurangan yang ada pada shalat wajib hamba-Ku itu dengan shalat sunnahnya.” Selanjutnya semua amal manusia akan dihisab dengan cara demikian.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmizi, dishahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 2571)

“Ash-sholah..ash-sholah..wa maa malakat aimaanukum..!!”

Begitu kiranya pesan kekasih kita, baginda Rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjelang wafatnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sepertinya sangat menghiraukan ummatnya; risau jika mereka meremehkan urusan sholat, khawatir jika ummatnya meninggalkan sholat. Dan ternyata memang benar, kebimbangan beliau saat itu dapat kita rasakan saat ini. Di antara kaum muslimin banyak yang tidak sholat sama sekali, ada yang 2 tahun sekali (‘Idul fitri dan ‘idul adha), ada pula yang 1 pekan sekali (sholat jum’at), Allahul Musta’aan..!!

Adapun di sini, di negara Saudi, kata orang sih wahabi, shalat berjamaah masih terjaga. Setiap waktu sholat; tempat-tempat perbelanjaan, di bandara, di ruang tunggu bis, seketika menghentikan aktifitasnya. Karpet panjang yang digulung kembali dihamparkan. Ya, karpet-karpet untuk sholat yang memang sudah disiapkan. Satu demi satu orang berdatangan untuk menjalankan sholat secara berjamaah, tak terkecuali di pom bensin.

Saat kami melakukan perjalanan ke Jeddah 2 hari yang lalu (tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1436 H.) ketika si supir ingin mengisi bensih, terpaksa ia harus menunggu lama. Mengapa? Sebab waktu sholat maghrib sudah tiba, lampu pom bensin dimatikan, tempat pemberhentian mobil yang ingin mengisi bensin direntangkan rantai, karena tempat tsb akan dijadikan tempat sholat berjamaah. Para karyawan pom bensih, penjaga toko, pekerja bengkel berduyun-duyun memenuhi shof yang telah disediakan, Allahu Akbar..!!

Negeri wahabi yang begitu ditakuti fitnahnya oleh sebagian orang ternyata sangat menjaga sholat berjamaah.
Pertanyaannya sekarang adalah, benarkah masyarakat yang sangat menjaga sholat berjamaah ini koleganya yahudi, amerika? Benarkah fitnah tanduk setan yang selalu dilontarkan ke Negara Saudi? Benarkah mereka suka memecah belah kaum muslimin?

Silakan dijawab dengan hati yang lapang..!! Hati yang terbebas dari racun hasad, virus kebencian..!!
Na’am..
________
MED, 17 Rabi’ul Awwal 1436 H.

Ket. Gambar kami ambil setelah selesai sholat. Masih ada satu orang yang ketinggalan. Lampu sudah dihidupkan, rantai penghalang sudah dilepaskan sehingga taxi bisa masuk.

read more

Makna Al-Jaami’ (الجامع), Al-Muwattho’ (الموطأ), dan Al-Mushonnaf (المصنف)

, by Unknown



Bismillah Ash-Sholaatu wa As-Salaamu ‘Ala Rosulillahi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Amma Ba'd :

Ikhwatii fillah a’azzaniallahu wa iyyakum jami’aa..

Disaat kita membaca artikel, atau pembahasan seputar hadits, seringkali kita menemukan istilah-istilah yang tidak asing seperti; Al-Jaami’, Al-Muwattho’, Al-Mushonnaf, dan lain sebagainya. Meskipun ianya kerap terdengar ditelinga kita, namun mungkin, sebagian teman-teman ada belum mengerti dengan makna istilah-istilah tsb. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini kami ingin mengupas sedikit makna dari istilah-istilah yang ada pada ilmu hadits itu. Selamat menyimak…

Ahibbatii rohimanii wa rohimakumullah..

Ketiga macam kitab yang kami sebutkan di atas, dikarang atau disusun oleh para ulama pada abad ke-2 Hijriyah. Kitab-kitab yang mengumpulkan berbagai macam pembahasan dan bab-bab dalam satu kitab. Ketiga kitab ini sama-sama tidak terbatas pada hadits-hadits yang bersambung sanadnya hingga Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja, akan tetapi juga mencakup atsar-atsar para sahabat, tabi’in, dan generasi yang datang setelah mereka. Selain itu, juga sama-sama disusun menurut bab-bab fiqh, dan tidak mensyaratkan hadits yang shohih. Sedangkan perbedaannya terletak pada tujuan disusunnya kitab-kitab tersebut.

Yang pertama, Al-Jaami’ (الجامع)

Al-Jaami’ ini berasal dari kata Al-Jam’u yaitu mengumpulkan sesuatu yang terpisah, dan menjadikannya di satu tempat, bermaterikan bab-bab ilmu dengan satu orang penyusun.

Kitab Al-Jaami’ yang paling masyhur ialah :

1. Al-Jaami’ karya Ibnu Jureij (150 H),
2. Al-Jaami’ karya Ma’mar bin Rosyid (154 H)
3. Al-Jaami’ karya Sufyan Ats-Tsauri (161 H)
4. Al-Jaami’ karya ‘Abdullah bin Wahb (167 H) dan lain-lain.

Akan tetapi, Al-Jaami’ pada masa itu (abad ke-2 H) tidak mencakup seluruh bab-bab fiqh sebagaimana Jaami’ Ma’mar, Jaami’ Ibnu Wahb. Kemudian pada abad ke-3 Hijriyah penggunaan istilah Jaami’ mulai berkembang, tidak terbatas pada hadits-hadits ahkam saja (sebagaimana kitab-kitab Sunan), melainkan ditambah dengan hadits-hadits seputar aqidah, tafsir, sejarah, adab, roqoiq, fitnah, dst. Al-Jaami’ pada masa itu (abad ke-3) juga berkisar pada hadits-hadist yang sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja (hadits marfu’), berbeda dengan Al-Jaami’ yang ditulis pada abad ke-2 hijriyah.


Yang kedua, Al-Muwattho’ (الموطأ)

Ditinjau dari sisi bahasa, muwattho’ berarti terbentang, mudah. Dan dari penamaan inilah kitab Muwattho’ disusun, yaitu mempermudah mengambil manfaat hadits-hadist dari segi fiqh, ilmu, dan pengamalan. Oleh sebab itu, di Muwattho’ Imam Malik rohimahullah kita akan menemukan tambahan selain hadits-hadits dan atsar, yaitu; pemahaman, pendapat, dan kesimpulan beliau dari sendiri.

Salah satu kitab muwattho’ yang paling masyhur dan yang terbaik adalah Muwattho’ Imam malik (179 H) dimana ianya menjadi salah satu ushul (pokok) kitab-kitab periwayatan hadits, bahkan sebagian ulama memposisikannya di atas Shohih Bukhori dan Muslim. Akan tetapi yang lebih rojih, adalah pendapat yang mengatakan bahwa Shohih Bukhori Muslim lebih unggul sebab pada kitab Muwattho’ Imam Malik terdapat hadits-hadits mursal dan maqthu’.

Perhatian dan sambutan para ulama terhadap Muwattho’ Imam Malik sangat besar, terutama pembahasan ulang perihal para rowinya, perbedaan riwayat yang ada, penjelasan hadits-hadits ghorib, syarh-syarh, tarjamah para rowi, dan seterusnya.

Selain Muwattho’ Imam Malik, ada juga Muwattho’ Ibnu Abi Dzi’b (109 H), Muwattho’ Ibrohim bin yahya al-aslamiy (184 H), Muwattho' Ibnu Wahb (197 H) dan lain-lain.

Yang ketiga adalah Al-Mushonnaf (المصنف)

Secara bahasa adalah sesuatu yang terbagi menjadi beberapa macam, dan kategori. Begitu juga dengan pengertiannya secara istilah, yaitu kitab yang dikarang dan disusun dalam bab-bab fiqh, di dalamnya disebutkan hadits-hadits marfu’, mauquf, maqtu’, mursal, fatwa-fatwa sahabat, tabi’in dan generasi yang datang setelah mereka.

Mushonnaf yang paling klasik adalah Mushonnaf Ibnu Abi Laila (148 H) dan Hammad bin Salamah (167 H), sedangkan yang sampai pada kita saat ini adalah mushonnaf ‘Abdurrozzaq (211 H) dan Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah (235 H). Adapun kitab Mushonnaf yang tidak sempat untuk kita nikmati ialah Mushonnaf  Baqi bin Mikhlad Al-Qurthubiy (276 H).

Meskipun terdapat banyak pembagian yaitu dengan banyaknya kitab dan bab-bab, namun dalam kedua mushonnaf (karya ‘Abadur Rozzaq dan Ibnu Abi Syaibah) tersebut kaya akan kandungan materi ilmiyah yang melimpah, penyusunan bab yang teratur, dan kompilasi yang baik, terutama mushonnaf Ibnu Abi Syaibah.

Demikian penjelasan super singkat dari kami, semoga ada manfaatnya bagi kita semua.
________

MED, 17 Rabi’ul Awwal 1436 H.
read more