Sunday 4 January 2015

Tanya Jawab Mustholah Hadits Pemula (bag.1)


Muqoddimah

Pengertian Ilmu Hadits Riwayah dan Diroyah

1) Ilmu Hadits Riwayah

Definisi : Menukil sunnah; baik dari ucapan Nabi shallallahu ‘alahi wasallam, perbuatan, persetujuan, rupa dan karakter Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dst. Lalu menghafalnya dalam hati, mengokohkannya pada tulisan, kemudian mengonsep lafadz dan isnadnya (rangkaian rowi hadits) kepada orang yang dinisbatkan padanya tahdits (menyampaikan hadits) dst.

Syarat-Syarat : Berbagai macam jenis tahammul (menerima hadits) seperti سماع (mendengarkan hadits), عرض (tholib membacakan hadits dan syeikh mendengarkannya), إجازة (izin dari syeikh untuk meriwayatkan hadits baik secara lisan maupun tulisan), dan lain sebagainya.

Macam-macamnya : الاتصال (yang bersambung sanadnya),   الانقطاع(yang terputus sanadnya), dan lain sebagainya.

Hukumnya : Diterima tidaknya sebuah hadits, keadaan rowi hadits dari sisi ‘adalah, jarh dan seterusnya, syarat-syarat tahammul dan adaa’, jenis-jenis periwayatan dan karya-karya ulama hadits seperti kitab sunan, shihhaah, jawaami’, masaanid, ma’aajim, yang menghimpun hadits-hadits, atsar, dan lain sebagainya. Tadwin al-hadits (pembukuan hadits) bermula pada tahun ke-100 Hijriyah, dibawah komando amirul mu’minin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz yang memerintahkan Abu Bakar bin Hazm untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alahi wasallam dan menulisnya.

Pada abad ke-2 Hijriyah, yang pertama kali mengumpulkan hadits dan disusun per-bab adalah :
1. Ibnu Juraij di Mekah
2. Imam Malik, Ibnu Ishaq, Ibnu Abi Dzi’b di Madinah
3. Hasyim bin Basyir di Wasith
4. Robi’ bin Shobih, Sa’id bin Abi ‘Arubah, dan Hammad bin salamah di Bashroh
5. Sufyan Ats Tsauri di Kufah
6. Ma’mar bin Rosyid di Yaman
7. Ibnu Mubarok di Khurosan
8. Jarir bin ‘Abdil Hamid di Roy

Dan lain sebagainya sampai sebagian mereka memilih untuk menulis hadits-hadits secara khusus, seperti ‘Ubaidullah bin Musa Al-‘Abasiy, Musaddad Al-Bashriy, Nu’aim bin Hammad Al-Mishriy yang mengarang atau menyusun Musnad. Kemudian dilanjutkan oleh Imam Ahmad, Ishaq bin Rohuyeh, Ibnu Abi Syaibah dan yang lainnya.

Ahli Hadits pertama yang mensyaratkan untuk mengumpulkan hadits-hadits shohih saja adalah Imam Bukhoriy sebanyak 2600 tanpa pengulangan, dan 7397 hadits dengan pengulangan. Lalu disusul oleh Imam Muslim yang berhasil menghimpun hadits-hadits shohih sebanyak 4000 hadits tanpa pengulangan, dan banyak pula hadits-hadits yang diulang penyebutannya. Kedua kitab shohih karya Imam Bukhoriy dan Muslim ini merupakan kitab paling shohih setelah al-Qur’an. Selanjutnya adalah shohih Ibnu Khuzaimah, lalu shohih Ibnu Hibban yang lebih ringan syarat shohihnya, kemudian Hakim (Mustadrok) yang berikrar untuk memenuhi persyaratan Bukhori Muslim atau salah satu diantaranya akan tetapi tidak terpenuhi seutuhnya.

Setelah kitab-kitab shohih, muncul kitab-kitab Sunan Arba’ah, yaitu Sunan Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasaai, dan Ibnu Majah. Namun mereka tidak mensyaratkan hadits-hadits shohih ke dalam Sunannya. Setelah itu dikarang juga kitab-kitab mustakhrojaat, dan lain sebagainya.

2) Ilmu Hadits Diroyah
Ilmu hadits diroyah ini lebih populer dikenal dengan istilah ilmu mushtholah hadits.

Definisi : Suatu disiplin ilmu dasar, menyingkap keadaan sanad dan matan hadits, guna mengetahui mana hadits yang diterima dan yang ditolak.

Yang dimaksud dengan sanad (bisa juga disebut isnad) : Rentetan rowi-rowi yang menghubungkan pada matan hadits. Atau pemberitaan tentang jalur matan.

Yang dimaksud dengan matan : Apa-apa yang termaktub setelah sanad hadits atau secara sederhana dapat dikatakan isi hadits. Jika yang disebutkan adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alahi wasallam atau mengandung hukum yang sama, maka bisa dikatakan hadits, khobar, atau atsar.

Jika dinisbatkan pada kalaamullah, maka dikatakan Hadits Qudsi. Sedangkan jika perkataan tsb berasal dari selain Nabi shallallahu ‘alahi wasallam maka disebut dengan khobar atau atsar bukan hadits.
Maka ilmu mustholah ini secara spesifik mengkaji keadaan sanad hadits, yang dipandang dari beberapa sisi :

1. Sampai pada siapa perkataan itu berakhir, apakah marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), mauquf (sampai kepada sahabat), maqthu’ (sampai kepada tabi’i).

2. Begitu pula dengan keadaan sanad itu sendiri; apakah muttasil (bersambung), munqothi’ (terputus), musalsal (hadits yang perowinya secara berkesinambungan mengikuti sifat atau keadaan tertentu, baik dari rowi maupun riwayatnya), aalin (hadits yang perantaranya sedikit dalam sanad), naazil (kebalikan ‘aalin), dan lain sebaginya.

Selain itu juga mengkaji keadaan matan yang dapat ditinjau dari beberapa segi :
1. Jalur periwayatannya, seperti masyhur, ‘aziz, dan ghorib.
2. Derajat hadits, apakah shohih, hasan, dhoif, mahfudz, syadz, ma’ruf, munkar, mutabi’ atau syaahid.
3. Pengambilan dalil dan beramal dengan hadits tersebut pada hukum tertentu; mu’aaridh, naasikh wa mansukh, roojih wa marjuh, dan yang berhubungan dengannya.
4. Juga dari segi ‘illahnya (cacat), apakah termasuk mu’allaq, mursal, mu’dhol, munqothi’, mudallas, maudhu’, matruk, mu’al, mudroj, maqlub, mazid, mudthorib, mushohhaf, muharrof, majhul, mubham, mukhtalith, dll.

Ilmu ini juga membahas bagaimana seorang rowi menyampaikan haditsnya, apakah dengan cara sama’, tahdits, ikhbar, inba’, qiroah, munawalah, musyafahah, mukatabah, ijazah, ‘an’anah, qoul, washiyyah, wijadah, dll.

Juga membahas nama-nama rowi, kunyah mereka, julukan, nasab mereka baik yang muttafiq wa muftariq, mu’talif wa mukhtalif, mutasyabih, dan lain sebagainya. Selain itu juga mengaji thobaqoh para rowi, tahun lahir dan wafat mereka, tempat tinggal dan perjalanan mereka dalam mencari hadits, kedudukan mereka dalam pandangan ulama jarh wa ta'dil, adab tholib kepada syeikhnya, umur rowi ketika menerima dan menyampaikan hadits, jenis menerima hadits apakah dengan mendengarkan langsung dari syeikh atau tidak, dan lain sebagainya.

Maksud dari ilmu mushtholah : Untuk mengetahui mana hadits-hadits yang diterima dan mana yang ditolak.

Faidah atau manfaatnya : Menjaga keutuhan agama agar tidak bercampur baur dengan selainnya.
Jika dibandingkan dengan ilmu lain : Maka ilmu ini adalah yang paling mulia karena berkaitan dengan manusia paling mulia Rosulullah shallallahu ‘alahi wasallam.

Sumber ilmu ini : Dengan cara istiqro’ dari kitab-kitab yang mengandung berbagai macam disiplin ilmu.

Pelopor : Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar, bahwasanya yang pertama kali mengarang kitab mushtholah hadits adalah Abu Muhammad Ar-Romahurmuziy di dalam kitabnya Al-Muhadditsu Al-Fashil, akan tetapi belum sempurna. Kemudian dilanjutkan oleh Imam Hakim tapi belum tersusun rapi, selanjutnya Abu Nu’aim Al-Ashbahaniy namum lagi-lagi belum lengkap dan masih tersisa pembahasan-pembahasan yang dikritisi.
Setelah itu munculah Al-Khotib Al-Baghdadiy yang menusun kitab Al-Kifayah, dan dalam bidang adab Al-Jaami’ li aadabi asy-syeikh wa as-saami’. Dan dilanjutkan oleh generasi setelahnya, sampailah pada masa Ibnu Sholah yang pada saat itu tinggal di Damaskus dan mengajarkan ilmu hadits ini secara imla’ (dekte) kepada murid-muridnyaa di Madrasah Al-Asyrofiyah. Dengan menghimpun pengetahuan yang beliau miliki ditambah dengan pembahasan yang ada di kitab Al-Khotib maka setelah dikumpulkan lahirlah kitab yang dikenal dengan Muqoddimah Ibn Sholah.

Sebagian ahli hadits setelah Ibnu Sholah menjadikan kitabnya tersebut dalam bentuk mandzumah (sya’ir) sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Hafidz Al-‘Iroqiy, lalu diringkas oleh Imam Nawawi dalam kitabnya At-Taqrib, kemudian disyarh oleh imam Suyuthi yang diberi judul At-Tadrib dan seterusnya.

Ada juga ulama yang menyusun kitab mustholah ini secara mandiri dan yang paling banyak manfaatnya seperti Ibnu Hajar dalam kitabnya Nukhbatu Al-Fikr yang kemudian disyarh menjadi Nuzhatu An-Nadzor.

Ketahuilah..bahwasanya ilmu ini sangat luas sekali, terdiri dari berbagai macam pembahasan penting seputar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Hafidz Al-Hazimiy mengatakan bahwa ilmu ini mencapai 100 cabang ilmu, dan setiap dari 100 ini memiliki cabang ilmu tersendiri lagi, yang mana jika saja seorang tholibul ‘ilm menginfaqkan umurnya hanya untuk membahas ilmu ini niscaya tidak akan cukup.

Wallahu A’lam wa Ahkam.
Bersambung..
_____________
Madinah Nabawiyah, 13/03/1436 H.

Abu 'Abdisy Syafi Hedi Kurniadi

No comments:

Post a Comment