Pengertian Ilmu Hadits Riwayah dan Diroyah
1) Ilmu Hadits Riwayah
Definisi : Menukil sunnah; baik dari ucapan Nabi shallallahu ‘alahi
wasallam, perbuatan, persetujuan, rupa dan karakter Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dst. Lalu menghafalnya dalam hati, mengokohkannya pada tulisan,
kemudian mengonsep lafadz dan isnadnya (rangkaian rowi hadits) kepada orang
yang dinisbatkan padanya tahdits (menyampaikan hadits) dst.
Syarat-Syarat : Berbagai macam jenis tahammul (menerima
hadits) seperti سماع (mendengarkan
hadits), عرض (tholib
membacakan hadits dan syeikh mendengarkannya), إجازة (izin dari syeikh untuk
meriwayatkan hadits baik secara lisan maupun tulisan), dan lain sebagainya.
Macam-macamnya : الاتصال (yang bersambung sanadnya), الانقطاع(yang
terputus sanadnya), dan lain sebagainya.
Hukumnya : Diterima tidaknya sebuah hadits, keadaan rowi hadits
dari sisi ‘adalah, jarh dan seterusnya, syarat-syarat tahammul dan adaa’, jenis-jenis
periwayatan dan karya-karya ulama hadits seperti kitab sunan, shihhaah,
jawaami’, masaanid, ma’aajim, yang menghimpun hadits-hadits, atsar, dan
lain sebagainya. Tadwin al-hadits (pembukuan hadits) bermula
pada tahun ke-100 Hijriyah, dibawah komando amirul mu’minin ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz yang memerintahkan Abu Bakar bin Hazm untuk mengumpulkan hadits-hadits
Nabi shallallahu ‘alahi wasallam dan menulisnya.
Pada abad ke-2 Hijriyah, yang pertama kali mengumpulkan hadits
dan disusun per-bab adalah :
1. Ibnu Juraij di Mekah
2. Imam Malik, Ibnu Ishaq, Ibnu Abi Dzi’b di Madinah
3. Hasyim bin Basyir di Wasith
4. Robi’ bin Shobih, Sa’id bin Abi ‘Arubah, dan Hammad bin
salamah di Bashroh
5. Sufyan Ats Tsauri di Kufah
6. Ma’mar bin Rosyid di Yaman
7. Ibnu Mubarok di Khurosan
8. Jarir bin ‘Abdil Hamid di Roy
Dan lain sebagainya sampai sebagian mereka memilih untuk menulis
hadits-hadits secara khusus, seperti ‘Ubaidullah bin Musa Al-‘Abasiy, Musaddad
Al-Bashriy, Nu’aim bin Hammad Al-Mishriy yang mengarang atau menyusun Musnad. Kemudian
dilanjutkan oleh Imam Ahmad, Ishaq bin Rohuyeh, Ibnu Abi Syaibah dan yang
lainnya.
Ahli Hadits pertama yang mensyaratkan untuk mengumpulkan
hadits-hadits shohih saja adalah Imam Bukhoriy sebanyak 2600 tanpa pengulangan,
dan 7397 hadits dengan pengulangan. Lalu disusul oleh Imam Muslim yang berhasil
menghimpun hadits-hadits shohih sebanyak 4000 hadits tanpa pengulangan, dan
banyak pula hadits-hadits yang diulang penyebutannya. Kedua kitab shohih karya
Imam Bukhoriy dan Muslim ini merupakan kitab paling shohih setelah al-Qur’an.
Selanjutnya adalah shohih Ibnu Khuzaimah, lalu shohih Ibnu Hibban yang lebih
ringan syarat shohihnya, kemudian Hakim (Mustadrok) yang berikrar untuk
memenuhi persyaratan Bukhori Muslim atau salah satu diantaranya akan tetapi
tidak terpenuhi seutuhnya.
Setelah kitab-kitab shohih, muncul kitab-kitab Sunan
Arba’ah, yaitu Sunan Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasaai, dan Ibnu Majah. Namun
mereka tidak mensyaratkan hadits-hadits shohih ke dalam Sunannya. Setelah itu
dikarang juga kitab-kitab mustakhrojaat, dan lain sebagainya.
2) Ilmu Hadits
Diroyah
Ilmu hadits diroyah ini lebih populer dikenal dengan istilah
ilmu mushtholah hadits.
Definisi : Suatu disiplin ilmu dasar, menyingkap keadaan sanad dan
matan hadits, guna mengetahui mana hadits yang diterima dan yang ditolak.
Yang dimaksud dengan sanad (bisa juga disebut
isnad) : Rentetan rowi-rowi yang menghubungkan pada matan hadits. Atau
pemberitaan tentang jalur matan.
Yang dimaksud dengan matan : Apa-apa yang
termaktub setelah sanad hadits atau secara sederhana dapat dikatakan isi
hadits. Jika yang disebutkan adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alahi wasallam
atau mengandung hukum yang sama, maka bisa dikatakan hadits, khobar,
atau atsar.
Jika dinisbatkan pada kalaamullah, maka dikatakan Hadits
Qudsi. Sedangkan jika perkataan tsb berasal dari selain Nabi shallallahu ‘alahi
wasallam maka disebut dengan khobar atau atsar bukan hadits.
Maka ilmu mustholah ini secara spesifik mengkaji keadaan sanad
hadits, yang dipandang dari beberapa sisi :
1. Sampai pada siapa perkataan itu berakhir, apakah marfu’
(sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), mauquf (sampai kepada
sahabat), maqthu’ (sampai kepada tabi’i).
2. Begitu pula dengan keadaan sanad itu sendiri; apakah muttasil (bersambung), munqothi’ (terputus), musalsal (hadits
yang perowinya secara berkesinambungan mengikuti sifat atau keadaan tertentu,
baik dari rowi maupun riwayatnya), aalin (hadits yang
perantaranya sedikit dalam sanad), naazil (kebalikan ‘aalin),
dan lain sebaginya.
Selain itu juga mengkaji keadaan matan yang dapat ditinjau dari
beberapa segi :
1. Jalur periwayatannya, seperti masyhur, ‘aziz, dan ghorib.
2. Derajat hadits, apakah shohih, hasan, dhoif, mahfudz,
syadz, ma’ruf, munkar, mutabi’ atau syaahid.
3. Pengambilan dalil dan beramal dengan hadits tersebut pada
hukum tertentu; mu’aaridh, naasikh wa mansukh, roojih wa marjuh, dan
yang berhubungan dengannya.
4. Juga dari segi ‘illahnya (cacat), apakah termasuk mu’allaq,
mursal, mu’dhol, munqothi’, mudallas, maudhu’, matruk, mu’al, mudroj, maqlub,
mazid, mudthorib, mushohhaf, muharrof, majhul, mubham, mukhtalith, dll.
Ilmu ini juga membahas bagaimana seorang rowi menyampaikan
haditsnya, apakah dengan cara sama’, tahdits, ikhbar, inba’, qiroah,
munawalah, musyafahah, mukatabah, ijazah, ‘an’anah, qoul, washiyyah, wijadah,
dll.
Juga membahas nama-nama rowi, kunyah mereka, julukan, nasab
mereka baik yang muttafiq wa muftariq, mu’talif wa mukhtalif,
mutasyabih, dan lain sebagainya. Selain itu juga mengaji thobaqoh para
rowi, tahun lahir dan wafat mereka, tempat tinggal dan perjalanan mereka dalam
mencari hadits, kedudukan mereka dalam pandangan ulama jarh wa ta'dil,
adab tholib kepada syeikhnya, umur rowi ketika menerima dan menyampaikan
hadits, jenis menerima hadits apakah dengan mendengarkan langsung dari syeikh
atau tidak, dan lain sebagainya.
Maksud dari ilmu mushtholah : Untuk mengetahui
mana hadits-hadits yang diterima dan mana yang ditolak.
Faidah atau manfaatnya : Menjaga keutuhan agama agar tidak
bercampur baur dengan selainnya.
Jika dibandingkan dengan ilmu lain : Maka ilmu ini adalah yang
paling mulia karena berkaitan dengan manusia paling mulia Rosulullah shallallahu
‘alahi wasallam.
Sumber ilmu ini : Dengan cara istiqro’ dari kitab-kitab
yang mengandung berbagai macam disiplin ilmu.
Pelopor : Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar,
bahwasanya yang pertama kali mengarang kitab mushtholah hadits adalah Abu
Muhammad Ar-Romahurmuziy di dalam kitabnya Al-Muhadditsu Al-Fashil,
akan tetapi belum sempurna. Kemudian dilanjutkan oleh Imam Hakim tapi belum
tersusun rapi, selanjutnya Abu Nu’aim Al-Ashbahaniy namum lagi-lagi belum
lengkap dan masih tersisa pembahasan-pembahasan yang dikritisi.
Setelah itu munculah Al-Khotib Al-Baghdadiy yang menusun kitab Al-Kifayah,
dan dalam bidang adab Al-Jaami’ li aadabi asy-syeikh wa as-saami’. Dan
dilanjutkan oleh generasi setelahnya, sampailah pada masa Ibnu Sholah yang pada
saat itu tinggal di Damaskus dan mengajarkan ilmu hadits ini secara imla’
(dekte) kepada murid-muridnyaa di Madrasah Al-Asyrofiyah. Dengan menghimpun
pengetahuan yang beliau miliki ditambah dengan pembahasan yang ada di kitab
Al-Khotib maka setelah dikumpulkan lahirlah kitab yang dikenal dengan Muqoddimah
Ibn Sholah.
Sebagian ahli hadits setelah Ibnu Sholah menjadikan kitabnya
tersebut dalam bentuk mandzumah (sya’ir) sebagaimana yang
dilakukan oleh Al-Hafidz Al-‘Iroqiy, lalu diringkas oleh Imam Nawawi dalam
kitabnya At-Taqrib, kemudian disyarh oleh imam Suyuthi yang diberi
judul At-Tadrib dan seterusnya.
Ada juga ulama yang menyusun kitab mustholah ini secara mandiri
dan yang paling banyak manfaatnya seperti Ibnu Hajar dalam kitabnya Nukhbatu
Al-Fikr yang kemudian disyarh menjadi Nuzhatu An-Nadzor.
Ketahuilah..bahwasanya ilmu ini sangat luas sekali, terdiri dari
berbagai macam pembahasan penting seputar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Al-Hafidz Al-Hazimiy mengatakan bahwa ilmu ini mencapai 100 cabang
ilmu, dan setiap dari 100 ini memiliki cabang ilmu tersendiri lagi, yang mana
jika saja seorang tholibul ‘ilm menginfaqkan umurnya hanya untuk membahas ilmu
ini niscaya tidak akan cukup.
Wallahu A’lam wa Ahkam.
Bersambung..
_____________
Madinah Nabawiyah, 13/03/1436 H.
Abu 'Abdisy Syafi Hedi Kurniadi
No comments:
Post a Comment