Sekilas Tentang Al-I'tibar, Asy-Syawahid, dan Al-Mutaba'at
Hadits Syaadz dan Munkar merupakan dua diantara hadits-hadits dho'if, entah itu disebabkan at-tafarrud (tidak ada rowi lain yg meriwayatkan hadits tsb kecuali dia) atau mukholafatu ghoirihi (menyelisihi rowi-rowi yang lain). Bedanya, syaadz adalah hadits yg hanya diriwayatkan oleh satu orang rowi yang tsiqoh, sedangkan munkar diriwayatkan oleh rowi yang dho'if .
Lantas bagaimana kita
dapat mengetahui bahwa seorang rowi dikatakan tafarrud atau
tidak? apakah ada rowi lain yang meriwayatkan hadits tsb dan sepakat dengannya
atau tidak? atau apakah periwayatannya diselisihi yang lain atau tidak?.
Nah untuk mengetahui
hal tersebut, ulama hadits rohimahullah melakukan observasi, dan eksplorasi,
atau dengan kata lain mengamati, menyelidiki, dan mencermati riwayat-riwayat
yang ada di kitab-kitab hadits lalu dikumpulkan hadits-hadits yang senada dari
rowi atau sahabat tertentu, serta hadits-hadits yang diriwayatkan perowi
lainnya dalam satu bab.
Dari pengamatan dan
penelusuran tersebut, maka akan tampak mana rowi yang menyendiri dalam suatu
hadits karena periwayatannya berbeda dengan rowi-rowi yang lain, dan inilah
yang disebut dengan tafarrud, dari situ juga akan kelihatan
siapa saja rowi yang periwayatannya sama baik dalam sanad dan matan nya,
atau hanya matan nya saja, terkadang muncul lagi hadits dari
rowi lain yang jika diamati oleh ulama hadits akan tampak bahwa hadits tersebut
menyelisihi hadits sebelumnya, maka mereka akan memposisikannya sebagai ikhtilaf, lalu
ditinjau kembali apakah ikhtilaf (perbedaan) tersebut
berpengaruh atau tidak, merusak derajat hadits tersebut atau tidak.
Cara yang ditempuh
oleh Ulama Hadits seperti ini lah yang disebut dengan al-'itibaar.
Sehingga kita akan
menemukan istilah (sebagaimana yang diisyaratkan Ibnu Sholah-rohimahullah-)
yang sering didengungkan oleh ulama hadits fulan yashluh li al-'itibaratau laa
yashluh li al-'itibar. Dan istilah ini kembali pada keadaan rowi itu
sendiri, tidak cukup hanya dengan meriwayatkan suatu hadits dan disepakati oleh
perowi yang lain lalu dijadikan pertimbangan, atau sebagai syahid.
akan tetapi inilah yang dimaksudkan oleh ulama hadits dari istilah 'itibar itu
sendiri meskipun ada pengertian yang lain.
Ulama Hadits
mengatakan bahwa dari proses al-'itibar inilah al-mutaba'aat dan asy-syawahid dapat
diketahui. Mereka mengatakan bahwa apabila ada rowi lain meriwayatkan hadits
yang sama baik dari sisi sanad atau matan nya,
sehinngga rowi yang pertama tidak sendiri dalam periwayatan haditsnya melainkan
ada rowi lain yang 'seiya sekata' meriwayatkan hadits dari syeikhnya sampai
seterusnya keatas. Sedangkan matan nya sama dengan matan dari
dua orang rowi inilah yang dinamakan al-mutaba'ah. Contohnya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Hammad bin salamah, dari Ayyub
as-sikhtiyani, dariMuhammad bin Sirin, dari Abi
Huroiroh, dari Rosulillah-shallallahu'alai wasallam- (misal
ini telah disebutkan sebelumnya oleh Ibnu Hibban di Muqoddimah
Shohihnya).
Nah, apabila kita
menemukan selain Hammad yang meriwayatkan hadits dari Ayyub atau yang lainnya,
maka kita katakan bahwa Hammad telah tafarrud dalam
periwayatan haditsnya. Namun, jika kita menemukan ada rowi lain yang sama-sama
meriwayatkan dari Ayyub, maka kita katakan bahwa Hammad lam yatafarrod (tidak
sendiri) melainkan ada rowi lain yang juga meriwayatkan dari Ayyub. Inilah yang
dimaksud dengan qoul ulama : fulan taaba'ahu fulan,
yang berarti bahwa selain dirinya masih ada rowi lain yang 'seirama' dalam
periwayatan hadits dari Syeikh yang sama sampai seterusnya hingga Rosulillah,
begitu juga dengan matannya. Maka rowi tsb tidak sendiri, tidak pula
meriwayatkan hadits dari dirinya sendiri, melainkan ada riwayat yg sama dari
rowi lain, diikuti dan disepakati rowi lain, dan ini merupakan tingkat mutaba'ah tertinggi
yang disebut dengan al-mutaba'ah at-taammah.
Mengapa
dikatakan al-mutaba'ah at-tammah? karena rowi lain ini meriwayatkan
hadits dari jalur yang sama, yaitu dari Syeikh yang sama lalu dari syeikh
syeikhnya yang sama sampai akhir isnad dan dengan matan yang sama pula.
Akan tetapi contoh
yang disebutkan diatas tidak termasuk Mutaba'ah taammah, karena
ternyata tidak ada rowi lain yang meriwayatkan haditsnya melalui jalur Ayyub,
akan tetapi dari rowi lain (bukan Ayyub) lalu dari Ibnu Sirin, jadi rowi tsb
hanya sejalan dengan Hammad dari jalur Ibnu Sirin, dan dari Abi Huroiroh
saja. gambaran seperti ini juga termasuk dalam bagian mutaba'ah, akan tetapi
lebih tepatnya disebut dengan al-mutaba'ah al-qoshiroh dikarenakan
adanya perbedaan dalam sebagian jalur periwayatan. Dalam kasus seperti ini
Hammad masih dikatakan ber-tafarrud karena hanya dia sendiri yang
meriwayatkan dari Ayyub, bahkan boleh jadi Hammad mukhti' (salah)
karena hadits yang mahfudz (lawan katasyaadz, hadits yg
diriwayatkan oleh rowi maqbul menyelisihi rowi-rowi lain yang
lebih rendah derajatnya dalam al-hifz wa al-itqon) bukan dari jalur
Ayyub, dari Ibn Sirin melainkan dari selain Ayyub dari Ibn Sirin. Meskipun
demikian periwayatannya masih dalam lingkupmutaba'ah secara umum.
Selain itu jika kita
menemukan hadits yang sama tapi diriwayatkan selain Hammad, bukan dari Ayyub,
bukan pula dari Ibnu sirin, tapi sama-sama dari Abi Huroiroh, maka keadaan
seperti ini (sebagaimana diisyaratkan Ibnu Sholah) juga termasuk mutaba'ah tapi
lebih rendah dari pada yang pertama tadi karena hanya bertemu pada sahabat Abi
Huroiroh saja.
Akan tetapi apabila
kita mendapati hadits (dengan matan yang sama ) yang dinisbatkan kepada Rosulullah-shollallahu'alaihi
wasallam-, namun bukan dari jalur Hammad,dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, Dari
Abi Huroiroh, bagaimana kita menyebutnya?
Ibnu Hajar-rohimahullah-
menyebutnya dengan syaahid, meskipun lafadz dan isi
haditsnya sama. gambaran seperti ini tidak disebutkan Ibnu Sholah, beliau juga
menyebutnya sebagaimutaba'ah. sedangkan Ibnu Hajar memposisikannya
sebagai syaahid selama haditsnya diriwayatkan oleh Sahabat
lain (meskipun matan haditsnya sama persis). Syahid menurut
Ibnu Sholah ialah apabila ada hadits dari sahabat yg berbeda, dengan matan yang
berbeda tapi mengandung makna yang sama dengan hadits Abi Huroiroh.
Namun sudah menjadi
suatu yang lumrah apabila ada perbedaan didalam istilah-istilah, dan memang
kita sering terkecoh didalam penyebutannya, terkadang mutaba'ah dikatakan
syahid dan syahid dikatakan mutaba'ah, namun selama tidak mempunyai pengaruh
buruk maka hal ini sah sah saja. Dengan catatan bahwa yang diinginkan oleh
ulama hadits adalah untuk mengetahui apakah rowi tersebut tafarrud atau
tidak, ada yang sepakat atau tidak, atau ada yang menyelisihinya ada tidak.
sehingga mereka dapat menentukan hadits tsbmahfudz atau tidak,
benar atau salah...wallahu A’lam
_________________
Kota Nabi -shallallahu'alaihi
wasallam-, 23 Shofar 1435 H
Sari kata dari ملتقى أهل الحديث
Hedi Kurniadi bin
Helmi bin Su’ud
Tweet
0 comments:
Post a Comment