Tak Terbatas pada Cinta
Istilah istikhoroh itu biasanya selalu dikaitkan dengan “ritual” memilih jodoh,
sehingga seringkali telinga kita mendengar celotehan para musafir cinta bersama
koleganya :
"Istikhoroh aja dulu akhi, biar dipilihkan jodoh
yang terbaik.." Petuah salah satu ikhwah kepada
temannya.
"Gimana dengan ikhwan yang datang kemaren ukh?
diterima gk lamarannya..?"
"Ana belum istikhoroh ne, doain ya.." Rumpian mbak-mbak di kampus atau setelah
pengajian.
Bangbro : “Woi
masbro..tak liatin dari dalam kelas tadi bengooong aja..! kenapa?”
Masbro : “lagi
galau ne bangbro..bingung mau milih yang mana..”
Bangbro : “mangnya
mau milih apa, caleg???”
Masbrow : “caleg
caleg..cais lah, alias calon istri..!!”
Bangbro : “ooough..kirain..gimana?
udah istikhoroh belum?
Masbro : “udah
sih kemaren, tapi gk mimpi mimpi ne, gimana ya..??”
Dan seterusnya…
Padahal istikhoroh ini sesungguhnya tidak hanya sebatas
untuk memilih jodoh. Jika kita mau sedikit lebih menelisik syarh atau
penjelasan dari hadits istikhoroh sendiri, atau membaca keterangan dari para
salafus sholeh, niscaya kita akan terperangah dengan keutamaan ibadah yang amat
sangat agung ini. Mengapa sampai dikatakan demikian? Sebab istikhoroh ini
mengandung hakikat tawakkal kepada Allah Jalla Jalaahu, menggantungkan
harapan terhadap keputusan yang terbaik, ridho dan pasrah sepenuhnya dengan
ketentuan Allah Tabaroka wa Ta'ala. Sehingga ada riwayat yang mengatakan
:
واقدر لي الخير حيث كان ثم ارضني به
“Berikanlah keputusan yang terbaik bagiku apa pun itu, lalu jadikan aku (hamba
yang) ridho menerimanya.”
Di dalam istikhoroh, tersirat pula ibadah tawasshul dengan Sifat-Sifat Allah Ta’ala.
اللهم إني أستخيرك بعلمك وأستقدرك بقدرتك
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan dengan Ilmu-Mu, dan aku
meminta ketetapan dengan Kekuasaan-Mu.”
Selain itu didalamnya juga terselip rasa hina dina bagi
seorang hamba terhadap Robbnya. Dan sungguh tidak ada daya dan upaya melainkan
atas izin Allah Subhanahu wa Ta'ala.
فإنك تقدر ولا أقدر وتعلم ولا أعلم
“Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa dan aku tidak tak kuasa, Engkau Maha Mengetahui
dan aku tak mengetahui.”
Oya sebelum melanjutkan bincang-bincang kita tentang
istikhoroh ini, apakah kawanku tahu apa makna dari istikhoroh itu sendiri?
Atau jangan-jangan selama ini hanya ‘membeo ria’, “ade orang cakap istikhoroh, die
pun nak ikut cakap istikhoroh” Pake’
logat ipin upin ya bacanya.
Kalau begitu, simak baik-baik pengertian istikhoroh yang
sebenarnya :
Meminta kebaikan kepada Allah Ta'ala, sebab Dialah Yang Maha Mengetahui
ilmu ghoib, mengetahui kejadian yang akan dan sudah terjadi, oleh sebab itu
tidak ada penyesalan dari pilihan Allah Jalla wa 'Ala.
Sedangkan hakikat istikhoroh adalah :
Meminta kepada Allah Ta'ala pilihan yang terbaik dari dua perkara,
kemudian ridho dengan apa yang telah Allah pilihkan untuknya.
Sesungguhnya Allah itu Maha Pemurah, kawan..jika Dia
dipinta akan memberikan pilihan yang terbaik. Jika dikau memohon kepada-Nya,
berdoa agar memberikanmu pilihan yang terbaik dari dua perkara, maka Allah Yang
Maha Dermawan akan memberikan yang lebih baik dari yang kau pinta meskipun
dirimu tak menyukainya. Allah Ta'ala berfirman :
فعسى أن تكرهوا شيئاو يجعل الله فيه خيرا كثيرا
“Maka boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal Allah telah menjadikannya
kebaikan yang banyak.” (QS.
An-Nisa : 19)
Sebelumnya obrolan istikhoroh kita lebih jauh, ada
baiknya pembahasan ini kita alihkan pada point-point penting berikut ini
1. Apakah
disyariatkan mengulang-ulangi istikhoroh atau tidak?
2. Adakah
istikhoroh dalam urusan akhirat?
3. Kapan
waktu istikhoroh?
4. Apa
hukumnya?
5. Apakah
disyaratkan niat?
6. Kapan
waktu memanjatkan do'anya?
7. Bagaimana
cara mengetahui hasil istikhoroh?
8. Apakah
diwajibkan bermusyawarah sebelum beristikhoroh?
Yang pertama, apakah disyariatkan untuk mengulang-ulangi
istikhoroh atau tidak?
Maka kami jawab, na’am..mengulang-ulangi istikhoroh itu
disyari’atkan sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Abdullah bin Zubeir rodhiallahu
‘anhu setelah bermusyawarah dalam urusan pemindahan al-bait dan mengulangi
pembangunannya setelah terbakar, beliau berkata :
“Sekiranya rumah kalian ada yang terbakar, tidak akan tenang sampai ia
mengulangi istikhorohnya, lantas bagaimana dengan bait Robb kalian (ka’bah)?
sesungguhnya aku beristikhoroh pada Robb-ku tiga kali lalu aku membulatkan
tekat atas urusannya (maksudnya untuk kembali membangun ka'bah pent).”
Yang kedua, adakah istikhoroh dalam urusan akhirat?
Kami katakan : pada asalnya istikhoroh bukan untuk urusan
akhirat, akan tetapi jika kita dihadapkan dengan dua urusan yang bertentangan,
seperti dua perkara yang mustahab maka ber-istikhorohlah kepada Allah.
Begitu pula jika dalam keadaan darurat harus memilih dua diantara perkara
haram, maka istikhorohlah, pilih mana yang lebih ringan keharamannya. Namun
sejatinya dalam urusan harom dan makruh tidak diperbolehkaan ber-istikhoroh
kecuali pada situasi yang mendesak.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata :
“Ibnu Abi Hamzah telah berkata : “Sesungguhnya wajib dan mustahab tidak
perlu istikhoroh untuk melakukan keduanya, sedangkan hal yang harom dan makruh
tidak perlu istikhoroh untuk meninggalkannya. Dan istikhoroh itu untuk semua
urusan; yaitu apa-apa yang biasa terjadi, bukan untuk sesuatu yang biasa
dikerjakan. Sekiranya engkau dihadapkan dengan pilihan dan bingung harus
memilih yang mana, maka engkau diperbolehkan untuk ber-istikhoroh kepada Allah
Ta'ala.”
Yang ketiga, kapan waktu istikhoroh?
Waktu istikhoroh ialah ketika kita merasa ragu dengan apa
yang ingin kita lakukan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
:
“Jika salah satu diantara kalian ada yang ragu dengan suatu perkara,
maka ruku'lah (sholatlah) dua rakaat selain sholat wajib.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa doa istikhoroh itu
setelah sholat sunnah dan bukan setelah sholat wajib.
Yang keempat, apa hukumnya?
Hukumnya adalah sunnah, di dalam hadits d iatas “Jika salah satu.....dst.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan untuk sholat istikhoroh, dan asal muasal dari sebuah perintah
adalah wajib, akan tetapi dalam hal ini perintah tersebut diseret pada perkara
yang mustahab atau sunnah, sebab ini merupakan bagian dari arahan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam kepada kita ummatnya jika berada dalam kondisi yang
membingungkan atau meragukan.
Yang kelima, apakah disyaratkan niat?
Yang tampak bagi kami -wallahu'alam- adalah tidak
diwajibkan adanya niat khusus, sebab Nabi shallallahu 'alahi wasallam
menganjurkan “jika salah satu
diantara kalian ragu....dst.” sebab
doa istikhoroh ini merupakan lanjutan dari sholat sunnah apa saja yang kita
kerjakan.
Yang keenam, kapan waktu memanjatkan do'anya?
Doa istikhoroh dilakukan setelah salam, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan setelah sholat dua
rakaat beliau bersabda :
ثم ليقل
“Hendaklah setelah itu ia mengatakan.” Kata Tsumma disini
menunjukkan setelah melakukan sesuatu.
Yang ketujuh, bagaimana cara mengetahui hasil istikhoroh?
Yang benar adalah :
Adanya ketenangan hati atau lapang dada dan bukan melalui mimpi
sebagaimana sangkaan banyak orang. Begitu pula dengan adanya kemudahan
untuk menentukan pilihan tersebut, jika perkara itu mudah tanpa beban maka
ketahuilah bahwa Allah Ta’la telah memilihkan mu. Akan tetapi jika perkara tersebut
dipersulit, maka ketahuilah bahwa Allah tidak menginginkannya dan ingin
MEMALINGKANNYA dari pikiran anda.
Namun boleh jadi hasil istikhoroh tersebut dari mimpi
yang baik, namun bukan suatu keharusan jika Allah memilihkanmu maka engkau akan
melihat mimpi, tidak demikian halnya.
Adapun sifat do’a istikhoroh adalah dengan mengangkat
kedua belah tangan dan menempelkan kedua sisinya. Bagi orang yang belum bisa
membaca do’a istikhoroh, maka boleh baginya untuk berdo'a semaunya.
Dan yang terakhir adalah, apakah diwajibkan bermusyawarah
sebelum beristikhoroh?
Sesungguhnya Allah Ta'ala telah memerintahkan
Nabi-Nya untuk bermusyawarah,
وشاورهم في الأمر
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam suatu perkara.”
Imam Syafi’i rohimahullah berkata :
“Termasuk dari bagian tekat (atau keinginan) bagi setiap yang mempunyai
hati nurani adalah tidak memutuskan suatu urusan, dan tidak membiarkan tekatnya
kecuali dengan bermusyawarah kepada sesiapa pun yang memberi nasihat dengan
telaah akal yang tajam.”
Imam Nawawi rohimahullah juga pernah menasihatkan :
“Disunnah bagimu untuk bermusyawarah sebelum istikhoroh kepada orang
yang engkau ketahui bobot nasihatnya, belas kasih dan pengalamannya, orang yang
tsiqoh dengan agama dan pengetahuannya. Jika orang tersebut telah memberikanmu
masukan dan akan tampak bagimu maslahat didalamnya, dengan demikian barulah
mengembalikan urusannya (istikhoroh) kepada Allah Subhanahu wa ta'ala.”
ISTIKHOROH-KU BERKISAH
Sebelum jari jemari ini kunarikan di atas kertas tak
bergaris, ada baiknya saya ingatkan bahwa kisah ini sama sekali tidak bermaksud
untuk membusungkan dada, akan tetapi lebih pada keinginan untuk berbagi
pengalaman sehingga dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua.
Kurang lebih dua tahun silam, saya dan sejumlah teman
yang berkisar antara 130 sampai 140an orang, berasal dari berbagai daerah
di Indonesia ternyata 50.000 tahun sebelum langit dan bumi ini diciptakan kami
telah ditaqdirkan (Shohih Muslim 2653) untuk menginjakkan kaki di salah satu
kota paling berpengaruh dalam peradaban agama Islam, Kota Nabi shallallahu'alaihi wasallam untuk mengecap lezatnya rihlah fii thalabil 'ilmi tamasya menuntut ilmu tepatnya di
Universitas Islam Madinah.
Pada tanggal 13 Februari 2012 rombongan tiba di kota
Madinah Nabawiyah, setelah melalui rute penerbangan yang panjang, dari Jakarta emak
kotanya Indonesia menuju negeri yang terkenal dengan menara tertingginya Burj
Khalif, yaitu kota Dubai.
Bangunan tertinggi ke-4 di Dubai dan hotel tertinggi di
dunia itu dan bangunan-bangunan tinggi lainnya ada yang mengatakan bahwa ia
adalah salah satu tanda akhir zaman yang sudah tampak, sebab si empu menara ini
katanya (katanya sih belum pernah memastikan) berasal dari arab badui (wong
ndeso), ingat kan hadits Jibril yang masyhur itu..?!
Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju kota pesisir Saudi
Arabia, Yanbu' namanya. Setelah tiba di bandara kami pun dijemput oleh dua buah
bis milik pemerintah menuju kampus.
Singkat cerita..setelah menyelesaikan administrasi,
termasuk cek kesehatan kembali, tibalah saat pemilihan fakultas yang akan
ditempuh selama 4 tahun. Namun taukah dikau kawan..jika sehari sebelum hari H
tiba, saya masih belum menentukan pilihan, bingung mau milih yang mana. Dari 5
fakultas yang ada, yaitu fak.Dakwah wa Ushuluddin, fak.Syari'ah, fak.Hadits,
fak.Al-Qur'an dan fak.Bahasa. Keinginan saya mengerucut pada 3 fakultas
pertama, sebab difakultas Al-Quran mensyaratkan hafal 30 juz, sedangkan hafalan
saya masih sangat jauh. Kalau di fak.Bahasa 'tak de minat' kate orang malaysie.
Nah dari sinilah istikhoroh itu mula berkisah;
Sore itu, Suhu di Madinah masih menyisakan musim dingin,
saya dan beberapa orang teman hendak pergi ke Mesjid Nabawi yang lumayan dekat
dari asrama, kebetulan di awal tahun pertama kami di tempatkan di asrama luar
kampus, JABIR kami menyebutnya (singkatan dari Jam'iyyatu Al-Birr). baru
beberapa meter kaki melangkah, tiba-tiba sebuah mobil berhenti menghampiri
kami.
“Mau ke harom?” Tanya yang punya mobil.
“Iya..” Sautku.
“Ayo masuk..!” Ajaknya kepada kami.
Dengan senang hati kami pun masuk ke dalam mobilnya,
“Lumayaan..” gumamku
dalam hati.
Oya kawan, jarak mesjid Harom Nabawi dari asrama kami
menghabiskan waktu sekitar 15-20 menit, jadi kalau ada tumpangan yang gratis
lumayan kan menghemat tenaga.
Waktu itu saya duduk di depan, persis disampingnya.
“Udah semester berapa ente?” Tanyanya
mengawali pembicaraan.
“Ane tholib baru syeikh..” Jawabku. (“syeikh”
adalah sapaan kami kepada siapa pun)
“Kalau antum?” Tanyaku balik.
“Kalau saya sudah semester akhir.” Jawabnya
sambil memegang kemudi mobil.
“Jurusan?” Timpal ku lagi.
“Syari'ah..!” Sautnya...
Terdiam sejenak......lalu tiba-tiba ia kembali angkat
bicara,
“Mau gk kamu saya beri nasehat?”
“Boleh..!” Sautku...
“Jangan masuk fakultas apapun selain fak.Hadits..!” Ucapnya
tegas.
“Sekiranya aku punya anak, akan ku suruh dia masuk
fak.hadits.” lanjutnya.
Tersentak ku mendengarnya, seakan-akan ini adalah jawaban
dari istikhoroh yang belum kutemukan jawaban sebelumnya. Lalu kutanya, “Kenapa syeikh?”
kemudian dia pun menjelaskan dengan panjang lebar
alasannya, salah satunya adalah bahwa fak.hadits Universitas Islam Madinah
adalah salah satu fakultas terbaik dari sekian kampus yang ada di Saudi. Dia
pun menyebutkan para Masyayikh yang lahir dari rahim fak.hadits tersebut.
Terakhir yang membuat saya makin yakin adalah disaat dia
mempertegas nasihatnya,
“Wallahi ya akhii..ana nyesel dulu masuk fak.syari'ah,
rasanya ana gk dapat apa2..penyesalan ana bagaikan jumlah helai rambut
ini." Sambil menyibak sedikit ghutroh atau sorban yang biasa
dipakai orang saudi.
Saya hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala seraya
memantapkan hati untuk masuk fak.Hadits.
Perbincangan pun selesai..beberapa menit kemudian
mobilnya pun sampai tujuan.
NB : penyesalan tholib tadi, dan perkataanya tidak
mendapatkan apa-apa hanyalah mubaalaghoh artinya berlebihan dalam berkata, dan
ini adalah ciri khas orang saudi (menurut dugaan kuat saya).
Keesokan harinya interview pemilihan fakultas pun
dimulai, secara bergilir teman-teman keluar masuk ruangan, orang per-orang.
Hingga giliran ku pun tiba; mulai dari pertanyaan nama, asal, sebelumnya mondok
dimana, bahasa sehari-hari dipondok menggunakan bahasa apa, barapa juz hafal
al-Qur'an, dan terakhir mau ngambil jurusan apa? dan yang keluar dari lisanku
saat itu adalah fak.Hadits...
Alhamdulillah, sejak itu saya resmi didaulat sebagai
tholib fak.hadits, dan pengembaraan pun bermula, meskipun harus merangkak,
mengejar mahasiswa-mahasiswa dari negara lain yang pada waktu itu bukan ku
anggap teman tapi guru, sebab pengetahuan mereka yang luar biasa, sampai-sampai
dosen yang tidak sepaham dengannya pun habis didebatnya. Dan hal itu yang
kemudian menyadarkan saya untuk lebih giat dalam belajar.
Hingga tulisan ini antum baca saya sudah mustawa 5,
meskipun jika dibandingkan dengan teman-teman yang seangkatan baik yang
sama-sama dari indonesia, maupun dari benua lain saya merasa paling bodoh
(semoga dipintarkan). Prinsip saya dulu sebelum memilih fak.Hadits ialah
minimal 'pernah' hafal Muharror fi Al-Hadits yang memang diwajibkan.
Sebab kalau tidak dipaksa mungkin ada rasa malas untuk menghafal.
Oya..sebelum istikhoroh dulu saya juga sempat
bermusyawarah, meminta nasihat kepada senior-senior yang telah merasakan duduk
dibangku kelas fak.Hadits..sebagaimana yang Allah Ta’ala perintahkan
pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam untuk bermusyawarah,
meremukkan sebuah masalah. (telah saya singgung sebelumnya)
Dan akhirnya istikhoroh-ku pun terhenti tuk berkisah.
Pesan yang ingin saya sampaikan adalah :
“Serahkanlah segala urusan, pilihan kepada Allah Ta'ala. Mohonlah yang
terbaik, niscaya Allah akan memberikan yang lebih baik dari yang terbaik, meski
terkadang terasa pahit tuk dirasakan.”
Sekian, semoga ada manfaatnya.
Wallahu Ta’ala A’lam wa Ahkam..
_______________
Dipenghujung malam, 15-04-1435
H.
Sumber : Syarh Kitab Muharror
fii Al-Hadits oleh Syeikh Dr. Muhammad bin Bakhit Al-Hujailiy hafidzohullah
Tweet
0 comments:
Post a Comment