BERKABUT RINDU (part.1)
Madinah.
Sejak semula, pilihan hati Rahmat mendalami
Al-Qur’an tidak pernah pudar. Hingga saat proses muqobalah di salah satu Pondok
Pesantren di Jawa Timur 3 tahun lalu, pilihan hatinya untuk mengambil Fakultas
Al-Qur’an tidak goyah. Dari seratus lebih mahasiswa asal Indonesia yang
diterima saat itu, hanya beberapa orang saja yang memilih untuk duduk di kelas
Al-Qur'an. Rahmat termasuk beberapa mahasiswa yang sedikit itu.
Di Universitas Islam Madinah, kelas Al-Qur’an
termasuk kelas khusus. Tidak sembarang calon mahasiswa bisa lolos ke fakultas
tersebut. Bisa jadi karena harga satu kursi di fakultas itu harus direbut
dengan hafalan 30 juz. Bahkan hafalan 30 juz itu adalah syarat mutlak untuk
bisa melenggang masuk di fakultas. Dan Rahmat berhasil melenggang ke fakultas
itu, fakultas yang paling dekat dengan masjid Samahatus syeikh ‘Abdullah bin
‘Abdil ‘Aziz bin Baz rohimahullah di antara fakultas-fakultas yang lain.
Sejak kecil Rahmat sudah terbiasa hidup mandiri.
Sifat ini dibawa Rahmat ke pondok saat dia nyantri. Tidak heran sewaktu masih
nyantri, kerja keras, ketekunan dan kecerdasan Rahmat sudah nampak menonjol. Di
sela-sela ketekunannya menghafal dan belajar, Rahmat menyempatkan waktu untuk
menjemput rezeki. Seringkali Rahmat mengulak kitab kitab kuning dari toko buku
di Surabaya. Kitab-kitab kuning ulakannya itu dijualnya kembali kepada para
santri. Dari sanalah Rahmat mendapatkan penghasilan. Selain itu, Rahmat juga
hobi menulis. Artikelnya sering dimuat di surat kabar Madura Post. Dari sanalah
Rahmat membiayai sekolahnya sendiri. Untuk sekedar SPP dan jajan sehari-hari,
Rahmat sangat mandiri tidak seperti kebanyakan santri yang lain.
Kini Rahmat mulai menikmati segala karunia
sebagai orang terpilih. Kerja keras, ketekunan dan kecerdasan pemuda asal
Madura itu mengantarnya sampai ke Madinah. Jauh dari ibu dan kedua adik yang
sangat dia cintai. Di sana, ia tekun menapaki jalan terjal untuk meraih
singgasana intelektual tertinggi di universitas ternama di kota Nabi itu.
Meskipun satu waktu rasa rindu pada ibu dan adik-adiknya itu memaksa air
matanya meleleh.
Di mata rahmat, ibunya adalah seorang wanita yang
sangat luar biasa. Bukan saja sebagai wanita yang telah mengandung, melahirkan,
mendidik, dan membesarkannya hingga detik ini. Tapi ibu bagi Rahmat bak
pahlawan tanpa jasa. Apatah lagi mengingat ibunya sendirian mengambil peran
sebagai seorang bapak pula. Namun ia tak pernah lelah banting tulang demi
memenuhi semua kebutuhan keluarga.
Satu kali, Rahmat tersentak. Kabar bahwa ibunya
sakit menusuk jantungnya.
“Ya Allah duhai Dzat Yang Maha Pengasih, Maha
Penyayang. Kasihi dan sayangilah kedua orang tuaku, terutama ibu yang telah
mengandungku, sayangilah Ia Ya Robb.
Kurang lebih 9 bulan aku menjadi beban hidupnya.
Semakin besar janin yang ada dalam kandungannya, semakin lemah dan bertambah
lemah pula kondisi tubuhnya. Tidur tak lena, makan apa adanya. Ya Robb, balas
semua pengorbanannya.
Terutama disaat Ibuku meregang nyawa, melahirkan
seorang anak yang Ia sendiripun tidak tahu, akan menjadi anak yang sholeh, atau
anak yang menyayat-nyayat hati dan perasaannya dengan sembilu kedurhakaan.
Yaa Allaah, jadikanlah diriku, juga adik adikku
menjadi anak yang sholeh, yang bertakwa, yang menjadi kunci bagi kedua orang
tuaku untuk membuka pintu surga-Mu ya Allah..aamiin.”
Bulir-bulir air mata Rahmat mengalir deras bak
arung yang menghanyutkan siapa saja. Qiyamul lailnya di sepertiga malam
terakhirnya kali itu penuh dengan harapan akan ibunya.
Lalu ingatan Rahmat akan perhatian ibunya
membayang lagi di pelupuk matanya. Berkejaran di bibir rindu yang sudah tak
tertahan ingin segera ditumpahkan saat tahajjudnya berakhir. Sesaat, telinganya
menangkap dialog dengan wanita yang sangat dihormatinya itu.
“Hati-hati ya, Le.”
“Iya, Bu.”
“Jangan terlalu memikirkan ibu. Tugasmu belajar
yang rajin.”
Rahmat mengangguk. Dalam hati Rahmat bertekad, ia
tidak akan membiarkan ibunya dibebani biaya mondoknya, tidak. Sudah cukup
wanita itu mengandung, melahirkan, menyusui sampai menyapih dan membesarkannya.
“Do’akan saja agar ibu sehat. Nanti kalo ibu
datang, kamu minta dibawakan apa, Le?”
“Sambal petis ikan dengan krupuk udang saja, Bu.”
Rahmat seakan melihat senyum ibunya yang tulus
sambil menggenggam telpon. Begitu saban waktu saat ibunya mengabarkan bahwa
pekan depan ibunya mau ke pondok untuk mengunjunginya.
“Astagfirullaah. Ibu!”
Rahmat terjaga.
Bersambung...
_________
MED, 14 Muharrom 1436 H.
Tweet
0 comments:
Post a Comment