BERKABUT RINDU (part.2)
Sejak
mendengar kabar ibunya sakit, Rahmat tak tenang. Hatinya berkecamuk. Tidurnya
tak nyenyak. Mimpinya buruk. Kala malam merayap berubah kelam, telinga Rahmat
seperti menangkap rintihan ibunya yang sedang menanggung sakit. Rintihan yang
menembus dinding asrama lalu menusuk gendang telinga dan mengalirkan air
matanya. Seketika langit-langit kamarnya penuh oleh wajah dan tatapan mata
ibunya. Tatapan itu seolah memanggilnya segera pulang. Sejak itu, pikiran
Rahmat tak bisa pergi dari wajah ibunya yang nampak lebih tirus.
Karena kabar
itu, Rahmat seperti membelah diri untuk ibunya. Seakan jasadnya ada di Madinah,
tapi hati dan pikirannya sudah tertambat di Pulau Garam. Saat Rahmat menyadari
bahwa mereka masih terpisah oleh jarak dan waktu yang tak mengenal kompromi,
Rahmat hanya bergumam, “Oh, ibunda.” Saat itulah dada Rahmat bergemuruh oleh
gelora birul walidain. Prinsip hidup Rahmat yang ditempatkan di tempat
tertinggi setelah cintanya pada Allah dan Rasul-Nya. Hanya dalam beberapa hari
oleh kabar itu, Rahmat tampak lebih kurus. Pikirannya terlalu lelah memikirkan
keadaan ibu yang sangat ia cintai melebihi lelahnya duduk berlama-lama di ruang
kelas kuliah.
Rahmat
bertambah lelah mana kala memikirkan saat ibunya ingin ke kamar kecil, lapar
atau haus, atau membutuhkan sesuatu. Siapa yang melayani? Tidak mungkin kedua
adiknya, Tika dan Rahma yang melayani. Pagi-pagi sekali mereka berdua sudah
berangkat sekolah. Memikirkan itu semua Rahmat ingin segera terbang, pulang dan
segera memeluk ibunya.
Dengan air
mata yang masih mengembang, Rahmat mengirim pesan singkat pada adiknya, Tika.
Menanyakan keadaan Tika, Rahmat dan ibu mereka. Tika yang tengah memasak untuk
makan malam menjawab pesan Rahmat. Rahmat sedikit lega, kabar tentang keadaan
ibunya tidak terlalu mencemaskan. Tika mengaku tidak masuk sekolah sementara
waktu untuk merawat ibu mereka. Hanya Rahma yang tetap sekolah.
Rahmat
beruntung memiliki adik perempuan seperti Tika dan Rahma. Dua adik perempuan
Rahmat itu masing-masing memiliki kelebihan selain wajah mereka yang cantik.
Tika, adiknya yang paling besar, suaranya merdu sekali saat melantunkan ayat
suci Al-Qur’an. Beberapa kali Tika berhasil menjurai kejuaraan MTQ baik tinggat
kecamatan atau kabupaten. Beberapa bulan lalu di Bengkulu, Tika meraih
peringkat ke-2 MTQ tingkat nasional.
Sementara
Rahma, adik Rahmat yang bungsu, hafalannya kuat sekali. Saat ini, Rahma sudah
hafal 10 juz mulai surah Al-Baqoroh juz 1 sampai suroh Al-A’rof juz 8 ditambah
juz Amma dan juz Tabarok. Saat pulang, Rahmat selalu menyempatkan diri mengecek
dan meminta setoran hafalan Rahma berikutnya. Memiliki adik-adik seperti Tika
dan Rahma, Rahmat sangat bersyukur. Rahmat berharap, kelak kedua adiknya
mendapatkan pasangan hidup yang salih seperti pesan ayahnya. Untuk itu Rahmat
berusaha agar kedua adiknya menjadi salihah dulu. Sebab Rahmat sangat yakin,
perempuan salihah hanya pantas untuk laki-laki yang salih.
Baru sekejap
Rahmat merasa lega karena kabar ibunya tidak terlalu mengkhawatirkan, pagi itu
jantung hati Rahmat bagai direnggut paksa. Pesan singkat Tika lah penyebabnya.
“Mas, sakit ibu tambah parah. Sekarang di rumah sakit. Pulanglah, Mas. Ibu selalu memanggil-manggil njenengan.”
“Yaa Allah,” pekik Rahmat.
Seketika
Rahmat terkulai lemas. Semua persendiannya terasa seperti lepas dari
tungkainya. Tak sadar ia sudah jatuh terduduk di depan pintu kamarnya. Dalam
sekejap jiwa Rahmat merintih, menghiba pada Yang Mahahidup, agar dirinya
diizinkan menemui ibunya. Lintasan pikiran buruk lalu menggoda Rahmat akan
ibunya, seolah ibunya sebentar lagi akan menyusul sang ayah.
Di kelas.
"Rahmat, ada apa denganmu?” tegur syeikh dosen mata kuliah Syatibiyah. Sang doktor heran melihat sikap Rahmat, salah satu murid kesayangannya itu.
"Rahmat, ada apa denganmu?” tegur syeikh dosen mata kuliah Syatibiyah. Sang doktor heran melihat sikap Rahmat, salah satu murid kesayangannya itu.
“Maaf ya
syeikh, saya ada masalah di rumah,” jawab Rahmat dengan mata yang berkaca-kaca.
“Baiklah,
nanti setelah selasai pelajaran, kamu datang ke ruanganku,” pinta syeikh.
Setelah jam
istirahat tiba, Rahmat segera menemui dosennya di lantai 2. Beberapa saat
setelah dipersilahkan, dengan terbata-bata Rahmat menceritakan masalah yang
sedang ia hadapi. Dengan rasa harap yang besar, Rahmat mengutarakan
keinginannya untuk pulang ke Indonesai sementara waktu untuk menemani ibunya di
rumah sakit.
“Ya syeikh,
ibuku, ibuku ya syeikh,” ratap Rahmat bersamaan air mata yang tak sanggup lagi
di bendung.
"Sabar dulu rahmat sabar, ada dengan ibumu?” kata syeikh menenangkan Rahmat.
“Ibu saya masuk rumah sakit ya syeikh, dapat serangan jantung.”
“Lalu apa yang engkau inginkan..?”
“Saya ingin pulang, cuti untuk beberapa waktu."
“Baiklah..!”
"Sabar dulu rahmat sabar, ada dengan ibumu?” kata syeikh menenangkan Rahmat.
“Ibu saya masuk rumah sakit ya syeikh, dapat serangan jantung.”
“Lalu apa yang engkau inginkan..?”
“Saya ingin pulang, cuti untuk beberapa waktu."
“Baiklah..!”
Sambil
mengambil pena dan secarik kertas syeikh menulis khitob atau surat permohonan
untuk Rahmat. Surat itu nanti akan diproses di bagian kemahasiswaan. Segera
Rahmat menuju bagian kemahasiswaan untuk mendapatkan izin pulang. Hatinya lega
karena syaikh berkenan memberinya memo atau surat pengantar.
Rahmat tidak
diizinkan pulang. Berulangkali Rahmat merajuk bagian kemahasiswaan, tetapi
keputusannya sama, permintaan Rahmat ditolak.
“Tolong saya
kali ini saja diizinkan pulang,” seru Rahmat.
“Tidak bisa, Rahmat. Sebentar lagi ujian.”
“Tapi ibu saya sakit keras.”
“Apa tidak ada satu pun keluargamu yang merawat?”
“Ibuku terus-terusan menyebut-nyebut nama saya.”
“Orang sakit memang begitu. Kamu sabar saja di sini dan konsentrasi pada studimu.”
“Baik. Tapi jika terjadi apa-apa pada ibu saya, anda yang harus bertanggung jawab!” kata Rahmat dengan suara meninggi.
“Apa maksudmu?”
“Jika saja ibu saya wafat dan tidak menjumpai saya karena Anda tidak memberi izin pulang, kita bertemu di pengadilan Allah nanti!”
“Tidak begitu Rahmat. Maut adalah urusan Allah. Di sini saya hanya menjalankan tugas.”
“Anda benar. Dan karena izin Allah juga, saya bisa belajar di sini.”
“Rahmat, kamu bisa dikeluarkan dari kampus ini.”
“Silahkan. Tapi tolong keluarkan juga Syaikh yang memberi memo pada saya.”
“Tidak bisa, Rahmat. Sebentar lagi ujian.”
“Tapi ibu saya sakit keras.”
“Apa tidak ada satu pun keluargamu yang merawat?”
“Ibuku terus-terusan menyebut-nyebut nama saya.”
“Orang sakit memang begitu. Kamu sabar saja di sini dan konsentrasi pada studimu.”
“Baik. Tapi jika terjadi apa-apa pada ibu saya, anda yang harus bertanggung jawab!” kata Rahmat dengan suara meninggi.
“Apa maksudmu?”
“Jika saja ibu saya wafat dan tidak menjumpai saya karena Anda tidak memberi izin pulang, kita bertemu di pengadilan Allah nanti!”
“Tidak begitu Rahmat. Maut adalah urusan Allah. Di sini saya hanya menjalankan tugas.”
“Anda benar. Dan karena izin Allah juga, saya bisa belajar di sini.”
“Rahmat, kamu bisa dikeluarkan dari kampus ini.”
“Silahkan. Tapi tolong keluarkan juga Syaikh yang memberi memo pada saya.”
Rahmat
merogoh sakunya. Dikeluarkan memo dari syaikh dan disodorkan pada petugas di
bagian kemahaiswaan. Sejenak petugas itu membaca memo tersebut.
“Maaf
Rahmat, saya tidak percaya. Memo ini palsu.”
“Apa?”
“Tidak ada tanda tangan siapa yang memberikan memo ini,” kata petugas itu sambil menyerahkan kembali memo itu pada Rahmat.
“Apa?”
“Tidak ada tanda tangan siapa yang memberikan memo ini,” kata petugas itu sambil menyerahkan kembali memo itu pada Rahmat.
Rahmat
terkesiap. Benar, rupanya syaikh tidak menanda tangani memo pemberiannya.
Tanpa berkata-apa-apa lagi, Rahmat segera pergi meninggalkan bagian kemahasiswaan. Ia kembali ke ruangan syaikh dan mengadukan nasibnya. Syaikh tampak terkejut karena lupa menanda tangani memo itu. Dengan meminta maaf, syaikh mengajak Rahmat menemui kembali bagian kemahasiswaan. Dan semuanya selesai tanpa perlu bersitegang.
Tanpa berkata-apa-apa lagi, Rahmat segera pergi meninggalkan bagian kemahasiswaan. Ia kembali ke ruangan syaikh dan mengadukan nasibnya. Syaikh tampak terkejut karena lupa menanda tangani memo itu. Dengan meminta maaf, syaikh mengajak Rahmat menemui kembali bagian kemahasiswaan. Dan semuanya selesai tanpa perlu bersitegang.
Petugas
kemahasiswan meminta maaf pada Rahmat dan memberikan surat izin pulang. Rahmat
juga demikian. Ia meminta maaf atas sikapnya barusan. Rahmat berterima kasih
pada syaikh atas bantuannya. Tapi masalah belum selesai. Uang tabungan dari
mukafaah atau beasiswa perbulan sebesar 840 real ternyata tidak cukup untuk
membeli tiket pulang. Sebagian uang itu sudah ia kirim untuk meringankan beban
ibunya di kampung.
Bersambung...
___________
___________
MED, 14 Muharrom 1436 H.
Tweet
0 comments:
Post a Comment