Memetik Hikmah dari Khitbah Terindah Sepanjang Sejarah

, by Unknown



Sahabat mulia ‘Ali bin Abi Tholib rodhiallahu ‘anhu suatu ketika datang kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau rodhiallahu ‘anhu ingin mempersunting Fatimah binti Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, tatkala beliau berhadapan langsung dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lidahnya kelu, kata-katanya kering oleh wibawa Nabi yang mulia shallahu ‘alahi wasallam.

Melihat anak pamannya (‘Ali bin Abi Tholib rodhiallahu ‘anhu) yang tersipu malu, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersenyum. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tahu jika ‘Ali bin Abi Tholib hendak melamar Az-Zahroo’ rodhiallahu ‘anha, “Puan wanita seluruh alam.”

“Maukah engkau aku nikahkan dengan putriku Fatimah (rodhiallahu ‘anha)..?” Tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

“Mau ya Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam)..” Jawab ‘Ali bin Abi Tholib rodhiallahu ‘anhu.

“Apakah engkau punya mahar?” Timpal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sebenarnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tahu persis jika ‘Ali bin Abi Tholib rodhiallahu ‘anhu tidak memiliki dirham tidak pula dinar, emas atau perak, apalagi istana yang megah. Namun beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui jika sahabatnya itu memiliki iman yang menggunung, mahkota kemuliaan yang ada di kepalanya rodhiallahu ‘anhu.

[ Perihal keutamaan 'Ali bin Abi Tholib rodhiallahu 'anhu, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لأعطين الراية غدا رجلا يحبه الله و رسوله

“Besok akan aku serahkan bendera perang ini kepada seorang yang dicintai Allah dan Rosul-Nya.” ]

“Aku tidak punya apapun wahai Rosulullah..” Jawab beliau, lesu.

“Mana baju besimu?”[1] Tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam lagi.

“Baju besi yang tidak lebih dari 2 dirham..?!”[2] ‘Ali bin Abi Tholib rodhiallahu ‘anhu ragu, heran, bertanya-tanya dalam hati, apakah maharnya hanya dengan baju besi? sudah rusak lagi.

Kemudian beliau mengambil baju besi tsb untuk diberikan kepada Fatimah rodhiallahu ‘anha sebagai maskawin. Maka Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahkan mereka berdua. Dibawalah istri tercinta, Fathimah rodhiallahu ‘anha ke rumah yang dibangun di atas ketakwaan kepada Allah dan keridhaan-Nya. Sejak hari itu beliau resmi menjadi menantu manusia paling mulia di dunia, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari pernikahan yang agung itu lahirlah “Tuan pemuda surga,” yaitu Al-Hasan dan Al-Husein, kemudian Muhsin, Ummu Kultsum, Zainab rodhiallahu ‘anhum.

Pelajaran yang dapat dipetik :

(1) Tidak mengapa bagi seorang pemuda datang sendirian untuk melamar pujaan hatinya. Namun, kembali lagi pada kebiasaan daerah masing-masing; ntah itu bersama orangtua, pemuka masyarakat, ustadz, dst. Tujuannya agar orangtua perempuan merasa bahwa sang pemuda benar-benar serius untuk menikahi putrinya.

(2) Bagi para pemuda, jika anda sudah berazam ingin menyempurnakan separo agama, menikahlah  !! PeDe aja lagi, modal nekat itu cukup. Datangi orang tua wanita yang ingin anda nikahi, katakan dengan “lantang”, jangan minder dengan keuangan, “Bismillah” semoga Allah mudahkan.

(3) Bagi calon mertua, hendaknya mereka memandang laki-laki yang mempersunting putrinya dari sisi agamanya; akidah, akhlak, ibadahnya, dan seterusnya. Bukan semata-mata karena harta, kedudukan, jabatan, profesi, dst.

(4) Bagi calon mertua, permudahlah urusan mahar/maskawin pemuda yang datang apa adanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

خَيْـرُ النِّكَـاحِ أَيْسَـرُهُ

“Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.”[3]  

إِنَّ أَعْظَمَ النَّكَـاحِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُ مُؤْنَةً.

“Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.”[4]

Sekian, wallahu Ta’ala A’lam wa Ahkam.
_____________
MED, 06/03/1436 H.

footnote :

[1]  HR. Abu Daud, An-Nasaa’i, Imam Ahmad, dan yang lain. dalam riwayat lain dikatakan bahwa baju besi tsb hasil pemberian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
[2]  Dalam riwayat lain dikatakan tidak lebih dari 4 dirham.
[3] HR. Abu Dawud (no. 2117) kitab an-Nikaah, al-Hakim (2/182), ia menshahih-kannya dan menilainya sesuai syarat Syaikhan (al-Bukhari-Muslim), dan Syaikh al-Albani menilainya sesuai syarat Muslim. Lihat al-Irwaa' (6/345).

[4] HR. Ahmad (no. 24595).

0 comments:

Post a Comment