Kupas Tuntas Hadits Tsaqolain (Dirosah Haditsiyah) part.2

, by Unknown



Hadits ini merupakan riwayat yang kedua dari hadits tsaqolain, dari sahabat Abu Sa'id al-khudri. Sebelumnya telah kami paparkan pembahasan hadits yang pertama dari riwayat Zaid bin Arqom rodhiallahu'anhu, semoga bermanfaat.

2.Hadits Abu Sa’id Al-khudri

Hadits ini diriwayatkan dari Abu Sa’id al-khudry melalui dua jalur;
Yang pertama dari jalur ‘Abdurrohman bin Sa’id dari bapaknya.
Hadits ini diriwayatkan oleh ‘Uqoliy (Ad-Du’afaa 4/362 No.1974) dari Muhammad bin ‘Utsman, dari Yahya bin Al-hasan al-farrot al-qozzaz, dari Muhammad bin Abi Hafsh al-‘atthor, dari Harun bin Sa’ad, dari ‘Abdirrohman bin Abi Sa’id al-khudri dari bapaknya, beliau rodhiallahu’anhu berkata : “Rosulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda : 



إِنِّيْ تَارِكٌ فِيْكُم الثَّقَلَيْنِ: أحدهما كِتَابَ اللهِ تبارك وتعالى, سبب طرفه بيد الله, وطرفه بأيديكم, وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي، وَ إنهما لَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الحَوْضَ.

“Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang berat, salah satunya adalah kitabullah tabaroka wata’ala, sebab ujungnya di Tangan Allah dan ujung (yang lain) di tangan kalian, dan ‘itroti (keturunanku) ahli baitku, dan kedua-duanya tidak akan terpisah sampai kembali kepadaku di haudh.”

Dan jalur yang kedua dari ‘Athiyah Al-‘Aufiy dari Abi Sa’id.
Hadits ini diriwayatkan oleh 8 (delapan) orang rowi dari ‘Athiyah dengan lafadz yang berbeda.
Empat orang dari mereka seperti hadits Abdurrohman bin Sa’id al-khudriy dari bapaknya. Yang sama seperti hadits Zaid bin Arqom secara makna yaitu tanpa kalimat “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu” (jika kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan tersesat) mereka adalah Zakariya, Abu Isro’il, Katsirun Nawwaa’, dan Abu Maryam al-anshoriy.
Dua rowi yang lain meriwayatkannya dengan tambahan lafadz tersebut “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”, mereka adalah Abul Jafaf dan Harun bin Sa’ad.
Sedangkan dua rowi lagi berbeda riwayatnya dari mereka dengan dua lafadz dari ‘athiyah, mereka adalah ‘Abdul Malik bin Abi Salman, dan Al-A’masy.
Perinciannya sebagai berikut ;
1. Riwayat dari ‘Athiyah tanpa kalimat  “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”.

إني تارك فيكم الثقلين, أحدهما أكبر من الآخر, كتاب الله  ممدود من السماء إلى الأرض, وعترتي أهل بيتي, وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض.

“Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang berat, salah satunya lebih besar dari yang lain kitabullah yang menjuntai dari langit ke bumi, dan ‘itroti (keturunanku) ahli baitku, dan kedua-duanya tidak akan terpisah sampai kembali kepadaku di haud.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (al-mushonnaf 6/133,30081), Ahmad bin Hanbal (musnad 3/14,11119), Thabroniy (mu’jam awsath 3/374 3439), dan (mu’jam shoghir 4/33,3542).

2. Riwayat dengan tambahan lafadz “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”.

إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي: الثَّقَلَيْنِ، أحدهُمَا أَكْبَرُ مِنَ الْآخَرِ، كِتَابَ اللَّهِ حَبْلٌ مَمْدُودٌ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ، وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي، أَلَا وَإِنَّهُمَا لَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ.

“Sesungguhnya aku telah tinggalkan untuk kalian, yang mana jika kalian mengambilnya (apa yang terkandung didalamnya) niscaya kalian tidak akan tersesat setelahku, dua perkara yang berat, salah satunya lebih besar dari yang lain, kitabullah tali yang menjuntai dari langit ke bumi, dan ‘itroti (keturunanku) ahli baitku, dan kedua-duanya tidak akan terpisah sampai kembali kepadaku di haudh.”

Hadits ini diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad (fadhoil as-shohabah 1/171 No.170) dan Thabroniy (al-mu’jam as-shoghir 1/232 No.376)
3. Riwayat dua versi, terkadang dengan tambahan dan terkadang tidak.

1. Hadits A’masy dari Athiyah.
- Riwayat tanpa tambahan lafadz “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”, diriwayatkan oleh Ahmad (3/17 11147), (fadhoil as-shohabah 2/779 1383), Ibnu Ja’d (musnad 1/397 2711), Abu Ya’la (musnad 2/297 1021), Thabroniy (mu’jam kabir 3/65 2679), ‘Uqoiliy (dhu’afaa’ 2/250 804)
- Riwayat dengan tambahan lafadz “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”, diriwayatkan oleh Tirmidzi (sunan 5/663 3788)

2.Hadits Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari ‘Athiyah.
- Riwayat tanpa tambahan lafadz “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”, diriwayatkan oleh Ahmad (musnad 3/26 11227)
-riwayat dengan tambahan lafadz “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”, diriwayatkan oleh Ahmad (musnad 3/59 11578), Abu Ya’la (musnad 2/376 1140), At-Thabroniy (al-mu’jam al-kabir 3/65 2678)

Analisis Riwayat
Pertama, jalur ‘Abdurrohman bin Abi Sa’id dari bapaknya.
Riwayat ini tidak ditemukan kecuali didalam kitab Ad-Dhu’afaa’ karya Al-‘Uqoiliy, beliau mengkatagorikan jalur ini sebagai hadits yang dho’if dikarenakan didalam sanadnya terdapat Harun bin Sa’ad yang dho’if menurutnya. Dimana beliau berkata sebelum meriwayatkannya : “Harun bin Sa’ad : Kufiy, ghuluw terhadap rofidhoh.”
Telah menceritakan kepada kami Muhammad, dari ‘Abbas, dari Yahya, Ia berkata : “Harun bin Sa’ad, termasuk yang ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap syi’ah, dan diantara haditsnya…lalu beliau sebutkan, kemudian berkata : “dan Harun laa yutaaba’ ‘alaihi [1] dia meriwayatkan dengan lebih baik dari sanad ini.”

Syeikh Manshur Mahmud berkata : “ketika ku lihat kembali tarjamah Harun maka kudapati Ianya adalah rowi yang ‘sholih’[2], dan sebagaimana yang disebutkan Ibnu ‘Adiy bahwa ke-bid’ahannya ini tidak menjadikan riwayatnya dho’if, karena dia tidak merubah hadits yang sesuai dengan kebid’ahannya. Apalagi ada riwayat yang menyatakan jika dia telah ruju’ darinya (dari ajaran syiah pent.)”[3]

Ibnu Hajar berkata mengenai kedudukannya didalam kitab Taqrib : “shoduq, rumiya bir rofd (shoduq, terindikasi sebagai rofidhoh) dan dikatakan : Dia telah ruju’ darinya, Imam Muslim telah meriwayatkan hadits darinya.”[4]

Meskipun demikian, ternyata didalam jalur ini terdapat masalah lain, diantaranya bahwa rowi yang meriwayatkan dari Harun adalah Muhammad bin Abi Hafsh, al-kuufiy al-‘atthor, dan dia adalah rowi yang mutakallim fiih (dipermasalahkan kredibilitasnya)[5]
Dan rowi dari Muhammad yaitu Yahya bin Al-hasan bin Farrot Al-qozzaz tidak ditemukan tarjamah (biografinya).

Lalu Syeikhnya ‘Uqoiliy sendiri, yaitu Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah al-kuufiy al-‘abasiy sangat jadi perselisihan, sebagian ulama mentsiqohkannya, dan sebagian yang lain mengatakannya sebagai kadzdzab (pendusta).[6]

Karenanya, maka jalur ini dho’if dari Abu Sa’id Al-Khudriy.

Yang kedua, jalur ‘Athiyyah Al-‘Aufiy, dari Abu Sa’id.
Pada dasarnya, jalur ini sudah dho’if  karena perputaran riwayatnya hanya dari ‘Athiyyah al-‘aufiy, rowi yang dho’if. Dia telah mentadlis (menyamarkan/mengaburkan kesalahan seperti tampak benar) dengan tadlis syuyukh (seakan-akan dia mendengar hadist yang diriwayatkan langsung dari syeikhnya) didalam riwayatnya dari Abu Sa’id Al-Khudriy secara khusus, yaitu ketika meriwayatkan dari Al-kalbiy dengan kunyahnya yaitu Abu Sa’id, dan meriwayatkan dengan kunyah Abu Sa’id ini muuhiman (sangkaan palsu) jika ia adalah Al-Khudriy.[7]

Riwayatnya mungkin saja diterima jika dia benar-benar mendengar dari Abu Sa’id Al-khudriy, akan tetapi kita tidak yakin bahwa dia benar-benar mendengar dari Al-khudriy. Maka ada kemungkinan hal ini merupakan tambahan dari salah satu rowi yang meriwayatkan darinya (‘Athiyyah). Dari rowi yang tampak bagi mereka kecurangan tadlis.
Meskipun hadits ini sejatinya adalah dhoif karena status ‘Athiyyah yang dho’if, akan tetapi terjadi perbedaan pendapat akan matan (isi hadist) yang mendorong syeikh Manshur untuk lebih cermat mencari lafadz yang tsabit darinya. Dan ini mengajak kita untuk membandingkan antara riwayat-riwayat rowi lain darinya (‘Athiyyah), oleh karena itu kita akan mempelajari riwayat-riwayat ini lebih terperinci lagi.

Pertama, riwayat dari ‘Athiyyah tanpa kalimat “maa in tamassaktum bihi lan tadhillu”.
1- Riwayat Zakariya dari ‘Athiyyah, ini adalah riwayat yang shohih darinya, Zakariya adalah Ibnu Abi Zaidah, tsiqoh mudallis,[8]  pada riwayat dari ‘Athiyyah ini Zakariya benar-benar mendengar langsung darinya. Dan rowi yang meriwayatkan dari Zakariya adalah Imam yang tsiqoh, yaitu Abu Bakar bin Abi Syaibah, dan ini merupakan derajat sanad yang paling tinggi, sanad yang lebih didahulukan dari yang lainnya dari segi ke-shohihannya dan sanadnya  yang ‘aliy (sanad yang hanya memiliki beberapa rowi saja untuk sampai pada Rosulillah).

2. Riwayat Abu Isroil, Aswad bin Amir [9] seorang rowi yang shoduq, akan tetapi para huffadz mempermasalahkan haditsnya dari dua sisi, yang pertama karena ghuluw (berlebih-lebihan) dalam tasyayyu’, yang kedua karena mempunyai banyak kesalahan. Adapun sifat ghuluwnya selagi tidak menjadi pendukung kesyiahannya maka tidak berpengaruh (tidak bisa dijadikan alasan mendhoifkan haditsnya), sedangkan dari sisi yang kedua yaitu su’u fihdzihi (buruk hafalannya yang menyebabkan banyak melakukan kesalahan dalam periwayatan)  tidak terlalu parah sehingga haditsnya masih bisa naik derajatnya jika ada riwayat lain yang mengikutinya, yaitu riwayat dari Zakariya bin Abi Zaidah, dan juga A’masy-akan ada penjelasan selanjutnya- maka dapat dikatakan bahwa riwayatnya ini shohih.

3. Riwayat Katsir An-Nawwaa’, ini adalah riwayat yang dho’if disebabkan status Nawwa’ sendiri, dan status rowi yang meriwayatkan darinya yaitu Abu Abdurrohman al-mas’udiy, dan mereka berdua sama-sama dho’if [10] Thabroniy telah mengisyaratkan ke-dhoifan riwayat ini dengan berkata setelah meriwayatkan haditsnya : “tidak ada yang meriwayatkan dari Katsir bin Nawwa’ kecuali Abu Abdirrohman al-mas’udiy.”

4. Riwayat Abu Maryam al-anshoriy, syeikh Manshur mendapatkan dua riwayat yang ma’ruf dengan dua nama kunyah, yang pertama seorang Tabi’i yang tsiqoh, orang syam [11] dan yang satunya lagi ‘Abdul Ghoffar bin al-qoshim [12] orang kufah kadzdzab (pendusta) ghuluw dalam tasyayyu’, meriwayatkan dari Tabi’in, dan syeikh merojihkan yang terakhir ini disebabkan dua perkara :
1. At-Thobaqoh [13] maka jelas dari riwayat yang ada bahwa dia berada di tingkatan atbaa’u at-taabi’in, dan bukan dari tabi’in.
2.  Al-Balad [14] rowi karena Dia adalah orang kufah, dan syeikhnya orang kufah, dan rowi yang meriwayatkan darinya juga orang kufah.

Jika riwayat yang dirojihkan syeikh Manshur benar adanya, maka riwayatnya dho’if sekali karena statusnya (kadzdzab). Dan jika ternyata yang benar adalah yang pertama, maka haditsnya juga dhoif dikarenakan adanya Al-Mas’udiy yang telah disebutkan sebelumnya.
Yang kedua, riwayat dari ‘Athiyyah dengan kalimat “maa in tamassaktum bihi lan tadhillu”.
1-Riwayat Abu Al-Jihaf, Daud bin Abi ‘Auf At-tamimiy [15], statusnya adalah shoduq laa ba’sa bihi, kaana yukhti’ (shoduq tidak ada cela, terkadang salah) akan tetapi riwayatnya disini tidak dapat diterima karena dia ghulat asy-syiah (pentolan syiah yang bersikeras terhadap ajarannya) dan boleh jadi Ia merubah lafadz hadits yang sesuai ajarannya.
Dan didalam hadits terdapat rowi yang lebih parah lagi yaitu Talid bin Sulaiman al-muharibiy, termasuk pentolan syiah, yang mencaci Abu Bakar, Umar, dan Utsman, serta sahabat yang lain, selalu berdusta, terutama terhadap Abu Jihaf pada keutamaan ahli bait, maka haditsnya tertolak tanpa ampun.[16]

2-Riwayat Harun bin Sa’ad, pembahasan tentang Harun ini telah dikupas sebelumnya           (jalur pertama dari Abu Sa’id) yang tampak bahwa Ia termasuk rowi yang sholihul hadits (bagus haditsnya) meskipun berlebih-lebihan dalam tasyayyu’, akan tetapi rowi yang meriwayatkan darinya telah tafarrud (bersendiri dalam periwayatan, tidak ada rowi yang lain yang meriwayatkan haditsnya) dia adalah Yunus bin Arqom, orang syiah layyinu al-hadits [17]. Rowi seperti ini tidak bisa berdiri sendiri jika tidak ada riwayat lain yang menguatkannya, selain itu dia juga tafarrud. Setelah meriwayatkan hadits ini Thabroniy mengisyaratkan bahwa haditsnya ghorib, Beliau berkata : “tidak ada rowi lain yang meriwayatkan dari Harun bin Sa’ad kecuali Yunus bin Arqom.”

Yang ketiga adalah riwayat yang diperselisihkan oleh para rowi dari ‘Athiyyah.
1-Riwayat Sulaiman Al-A’masy : dalam riwayat ini terdapat perselisihan para rowi yang meriwayatkan darinya.
Rowi yang meriwayatkan dengan kalimat “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”. Yaitu Muhammad bin Fudhoil, yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ali bin Mundzir, dari Muhammad bin Fudhoil darinya (A’masy) dan Dia berkata : “haditsun hasanun ghorib” . Riwayat ini dhoif dari dua sisi :
- Status ‘ali bin Mundzir yang diperselisihkan, begitu juga dengan Ibnu Fudhoil, ditambah posisinya sebagai orang syiah, dan boleh jadi haditsnya berubah sesuai dengan ajarannya.
- Menyelisihi riwayat Muhammad bin Tholhah-akan disebutkan nanti-.
Dan riwayat ini telah dibahas sebelumnya (ketika mengupas hadits Zaid bin Arqom) dan telah diterangkan berbagai macam ketimpangan-ketimpangan disana, sehingga yang tampak bahwa dengan hal itu semua hadits ini dinyatakan dhoif.[18]
Rowi yang tidak meriwayatkan dengan kalimat “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”. Terdapat  3 orang rowi, mereka adalah Muhammad bin Tholhah, Sholih bin Abi al-aswad, dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Quddus.

Muhammad bin Tholhah statusnya adalah shoduq mempunyai banyak awham (kekeliruan/kerancuan)[19] telah meriwayatkan darinya Abu Nadhr Hasyim bin Qosim dan dia tsiqot tsabt (derajat pertama dalam istilah ta'dil)[20] dan Bisyr bin walid, tsiqoh fihi kalaam[21] maka jalur ini jayyid hasan yang diriwayatkan dari ‘Amasy.
Adapun jalur yang lainnya maka dhoif kedu-duanya, Sholih ini rowi yang yang majhul[22] (tidak diketahui identitasnya)  sedangkan ‘Abdullah bin ‘Abdul Quddus dan rowi yang meriwayatkan darinya yaitu Abdullah bin dahir mereka berdua adalah rofidhoh yang buruk.[23]

Oleh karenanya, maka riwayat yang tsabit dari ‘Amasy adalah dari jalur ‘Athiyyah yang meriwayatkan haditsnya tanpa ada kalimat “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”.

2. Riwayat ‘Abdul Malik bin Abi sulaiman[24] Terdapat perselisihan diantara rowi dalam periwayatan darinya.
- Rowi yang meriwayatkan tanpa kalimat “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu” : yaitu Ibnu Numair.
- Dan tiga orang rowi lainnya meriwayatkan dengan tambahan, mereka adalah Ibnu Numair, Muhammad bin Fudhoil, dan Ali bin Mushir.
Ibnu Numair, dia adalah Muhammad bin Abdullah bin Numair al-hamadaniy, tsiqoh haafidz fadhil [25] rowi yang meriwayatkan darinya adalah Imam Ahmad, maka sanad dari Abdul Malik melalui jalur ini shohih, akan tetapi terdapat isykal (masalah) dari Imam Ahmad yang mana didalam musnadnya beliau meriwayatkan dari dua sisi, dan syeikh Manshur tidak bisa memastikan mana riwayat yang shohih diantara keduanya. Meskipun demikian riwayat yang mengandung tambahan akan tampak rojih jika dipadukan dengan riwayat Ibnu Mushir -akan disebutkan nanti-.

Adapun Ibnu Fudhoil, maka pembahasan tentangnya sudah pernah diterangkan sebelumnya, statusnya adalah shoduq, akan tetapi dia seorang syiah yang getol, dan rowi yang meriwayatkan darinya adalah Sufyan bin Waqi’, matruuk al-hadits (derajat rowi yang sangat dhoif)[26] Maka isnad seperti ini tidak bisa dijadikan hujjah.

Adapun Ali bin Mushir maka dia adalah rowi yang tsiqoh tsabt[27] dan rowi yang meriwayatkan darinya adalan Munjab bin Al-harits, tsiqoh (derajat kedua dalam ta'dil).[28] Dan rowi yang meriwayatkan darinya adalah Muhammad al-hadromiy-yang dijuluki dengan Muthin-, juga tsiqoh. Maka isnad ini shohih dari Abdul Malik, oleh karenanya yang tsabit dari riwayat Abdul Malik adalah riwayat yang terdapat kalimat “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”.

Imam Ahmad telah mendhoifkan hadits Abdul Malik dari ‘Athiyyah,- dan menurut syeikh manshur- beliau (Imam Ahmad) mendhoifkannya karena status ‘Athiyyah sendiri, Imam Bukhori berkata : “Ahmad berkata pada hadits Abdul Malik, dari ‘Athiyyah, dari Abi Sa’id, Nabi  shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “taroktu fiikum ats tsaqolaini, hadits-hadits orang kufah ini manakiir.” (banyak yang munkar)[29]

KESIMPULAN ANALISIS
Pertama, hadits Abu sa’id dhoif dari kedua jalurnya.
Kedua, yang rojih pada hadits ‘Athiyyah dari Abi Sa’id -bersamaan dengan kedhoifannya- bahwasanya hadits tersebut tidak mengandung kalimat “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”, yang shohih dari ‘Athiyyah adalah tanpa kalimat ini dari jalur Zakariya bin Abi Zaidah, Abu Isroil al-malai, dan ‘Amasy, dan yang menyelisihi mereka adalah Abdul Malik bin Abi Sulaiman dan menambah kalimat ini. Dan riwayat mereka lebih didahulukan dari pada riwayatnya, karena jumlah mereka lebih banyak, dan diantara mereka terdapat rowi yang lebih tsiqoh darinya (Abdul Malik), yaitu Zakariya. Jika yang dirojihkan riwayat mereka (Zakariya bin Abi Zaidah, Abu Isroil al-malai, dan ‘Amasy) maka pada hadits terdapat idthirob (kebimbangan/kekacauan) yang sangat jelas dari ‘Athiyyah. Oleh karenanya, maka hadits mempunyai dua kemungkinan, yang pertama haditsnya shohih dari ‘Athiyyah tanpat tambahan kalimat “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”, yang kedua terdapat idthirob pada ‘Athiyyah disebabkan perselisihan diantara rowi tsiqoh darinya. Adapun hadits ini shohih dari ‘Athiyyah maka kita katakana tidak benar.

Dengan demikian, maka hadits Abi Sa’id -bersamaan dengan kedhoifannya- tidak mengandung kalimat “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu” dari seluruh jalur yang ada.  
Wallahu’alam.
Fotenote
[1] Tidak ada rowi lain yang meriwayatkan haditsnya dengan sanad yang sama.
[2] Tahdzibu Al kamal, Al-Mizzi 30/85-88 tarjamah no.6512
[3] Tahdzibut tahdzib, Ibnu Hajar 11/6
[4] Taqribut tahdzib, Ibnu Hajar 568 tarjamah no.7227
[5] lisanu al-mizan Ibnu Hajar, 5/146 tarjamah no.489
[6] lisanu al-mizan Ibnu Hajar, 5/280 tarjamah no.965, Tadzkirotu al-huffadz, Adz-dzahabi 2/661 tarjamah no.681
[7] Al-‘ilal wa ma’rifatu ar-rijal 1/548,549, Al-Jarh wa Ta’dil 6/382 tarjamah no.1306, Tahdzibu at-tahdzib, Ibnu Hajar 7/201 tarjamah no.414
[8] Tahdzibu al-kamal al-mizzi 359, tarjamah no.1992, Taqribu At-tahdzib Ibnu hajar 216 tarjamah 2022
[9] Tahdzibu al-kamal al-mizzi 3/77 tarjamah no.440, Tahdzibu at-tahdzib Ibnu Hajar 1/657 tarjamah no.545, Taqribu At-tahdzib 107 tarjamah 440
[10] Tahdzibu al-kamal al-mizzi 24/104 tarjamah no.4935, Taqribu At-tahdzib 459 tarjamah no.5605, Ad-Dhu’afaa’ Al-‘Uqoiliy 2/275, lisanu al-mizan Ibnu Hajar 3/312
[11] Tahdzibu al-kamal al-mizzi 34/281, Taqribu At-tahdzib Ibnu hajar 672, Al-Kasyif adz-dzahabi 2/459,
 [12] Ad-dhu’afaa’ al-‘uqoiliy 3/100 No.1075, Al-kamil fi ad-dhu’afaa’ Ibnu ‘Adiy 327 No.1479, Lisanu al-mizan 4/42 No.123
[13] tingkatan rowi atau masa hidupnya
[14] Negri atau tempat tinggal rowi
[15] Tahdzibu al-kamal al-mizzi 8/434 No.1779, Tahdzibu at-tahdzib 3/170
[16] Tahdzibu at-tahdzib 1/447 No.947
[17] At-tarikh al-kabir 8/410 No.3518, Lisanu al-mizan 6/331 No.1179
[18] lihat di postingan sebelumnya  
[19] Tahdzibu at-tahdzib 9/211 No.381
[20] Taqribu At-Tahdzib 570 No.7256
[21] Lisanu al-mizan Ibnu Hajar 2/35 No.120
[22] Lisanu al-mizan 3/166 No.671
[23] diriwayatkan oleh ‘Uqoiliy, dan dia berkata sebelum meriwayatkannya : “Abdullah bin Dahir ar-rozi ar-rofidi khobits, dari Abdullah bin abdul quddus asyarru (lebih buruk) darinya, kedua-duanya rofidhoh.
[24] Tahdzibu at-tahdzib 6/352 No.751, Taqribu At-Tahdzib 363 No.4148
[25] Tahdzibu al-kamal, Al-Mizzi 16/225 No.3618
[26] Tahdzibu at-tahdzib 4/109 No.210
[27] Taqribu at-tahdzib 1/405
[28] Taqribu at-tahdzib Ibnu Hajar 545  
[29] At-tarikh As-shoghir 1/267
sumber tulisan : حديث الوصية بالثقلين دراسة حديثية, الشيخ الدكتور منصور محمود الشرايري
Madinah Nabawiyyah, 01/04/1435 H.

0 comments:

Post a Comment