Kupas Tuntas Hadits Tsaqolain (Dirosah Haditsiyah) part.2
Hadits ini merupakan riwayat yang kedua dari hadits tsaqolain, dari sahabat Abu Sa'id al-khudri. Sebelumnya telah kami paparkan pembahasan hadits yang pertama dari riwayat Zaid bin Arqom rodhiallahu'anhu, semoga bermanfaat.
2.Hadits
Abu Sa’id Al-khudri
Hadits
ini diriwayatkan dari Abu Sa’id al-khudry melalui dua jalur;
Yang
pertama dari jalur ‘Abdurrohman bin Sa’id dari bapaknya.
Hadits
ini diriwayatkan oleh ‘Uqoliy (Ad-Du’afaa 4/362 No.1974) dari Muhammad bin
‘Utsman, dari Yahya bin Al-hasan al-farrot al-qozzaz, dari Muhammad bin Abi
Hafsh al-‘atthor, dari Harun bin Sa’ad, dari ‘Abdirrohman bin Abi Sa’id
al-khudri dari bapaknya, beliau rodhiallahu’anhu berkata : “Rosulullah
shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
إِنِّيْ تَارِكٌ
فِيْكُم الثَّقَلَيْنِ: أحدهما كِتَابَ اللهِ تبارك وتعالى, سبب طرفه بيد الله,
وطرفه بأيديكم, وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي، وَ إنهما لَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى
يَرِدَا عَلَيَّ الحَوْضَ.
“Sesungguhnya
aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang berat, salah satunya adalah kitabullah
tabaroka wata’ala, sebab ujungnya di Tangan Allah dan ujung (yang lain) di
tangan kalian, dan ‘itroti (keturunanku) ahli baitku, dan kedua-duanya tidak
akan terpisah sampai kembali kepadaku di haudh.”
Dan
jalur yang kedua dari ‘Athiyah Al-‘Aufiy dari Abi Sa’id.
Hadits
ini diriwayatkan oleh 8 (delapan) orang rowi dari ‘Athiyah dengan lafadz yang
berbeda.
Empat
orang dari mereka seperti hadits Abdurrohman bin Sa’id al-khudriy dari
bapaknya. Yang sama seperti hadits Zaid bin Arqom secara makna yaitu tanpa
kalimat “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu” (jika kalian berpegang
teguh dengannya niscaya kalian tidak akan tersesat) mereka adalah Zakariya, Abu
Isro’il, Katsirun Nawwaa’, dan Abu Maryam al-anshoriy.
Dua rowi
yang lain meriwayatkannya dengan tambahan lafadz tersebut “maa in
tamassaktum bihi lan tadhilluu”, mereka adalah Abul Jafaf dan Harun bin
Sa’ad.
Sedangkan
dua rowi lagi berbeda riwayatnya dari mereka dengan dua lafadz dari ‘athiyah,
mereka adalah ‘Abdul Malik bin Abi Salman, dan Al-A’masy.
Perinciannya
sebagai berikut ;
1.
Riwayat dari ‘Athiyah tanpa kalimat “maa
in tamassaktum bihi lan tadhilluu”.
إني
تارك فيكم الثقلين, أحدهما أكبر من الآخر, كتاب الله ممدود من السماء إلى الأرض, وعترتي أهل بيتي,
وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض.
“Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua
perkara yang berat, salah satunya lebih besar dari yang lain kitabullah yang
menjuntai dari langit ke bumi, dan ‘itroti (keturunanku) ahli baitku, dan
kedua-duanya tidak akan terpisah sampai kembali kepadaku di haud.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (al-mushonnaf 6/133,30081), Ahmad bin
Hanbal (musnad 3/14,11119), Thabroniy (mu’jam awsath 3/374 3439), dan (mu’jam
shoghir 4/33,3542).
2.
Riwayat dengan tambahan lafadz “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”.
إِنِّي قَدْ
تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي:
الثَّقَلَيْنِ، أحدهُمَا أَكْبَرُ مِنَ الْآخَرِ، كِتَابَ اللَّهِ حَبْلٌ
مَمْدُودٌ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ، وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي، أَلَا
وَإِنَّهُمَا لَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ.
“Sesungguhnya
aku telah tinggalkan untuk kalian, yang mana jika kalian mengambilnya (apa yang
terkandung didalamnya) niscaya kalian tidak akan tersesat setelahku, dua
perkara yang berat, salah satunya lebih besar dari yang lain, kitabullah tali
yang menjuntai dari langit ke bumi, dan ‘itroti (keturunanku) ahli baitku, dan
kedua-duanya tidak akan terpisah sampai kembali kepadaku di haudh.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad (fadhoil as-shohabah 1/171 No.170)
dan Thabroniy (al-mu’jam as-shoghir 1/232 No.376)
3.
Riwayat dua versi, terkadang dengan tambahan dan terkadang tidak.
1.
Hadits A’masy dari Athiyah.
- Riwayat
tanpa tambahan lafadz “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”, diriwayatkan
oleh Ahmad (3/17 11147), (fadhoil as-shohabah 2/779 1383), Ibnu Ja’d (musnad
1/397 2711), Abu Ya’la (musnad 2/297 1021), Thabroniy (mu’jam kabir 3/65 2679),
‘Uqoiliy (dhu’afaa’ 2/250 804)
- Riwayat
dengan tambahan lafadz “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”, diriwayatkan
oleh Tirmidzi (sunan 5/663 3788)
2.Hadits
Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari ‘Athiyah.
- Riwayat
tanpa tambahan lafadz “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”, diriwayatkan
oleh Ahmad (musnad 3/26 11227)
-riwayat
dengan tambahan lafadz “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”, diriwayatkan
oleh Ahmad (musnad 3/59 11578), Abu Ya’la (musnad 2/376 1140), At-Thabroniy
(al-mu’jam al-kabir 3/65 2678)
Analisis
Riwayat
Pertama,
jalur ‘Abdurrohman bin Abi Sa’id dari bapaknya.
Riwayat
ini tidak ditemukan kecuali didalam kitab Ad-Dhu’afaa’ karya Al-‘Uqoiliy,
beliau mengkatagorikan jalur ini sebagai hadits yang dho’if dikarenakan didalam
sanadnya terdapat Harun bin Sa’ad yang dho’if menurutnya. Dimana beliau berkata
sebelum meriwayatkannya : “Harun bin Sa’ad : Kufiy, ghuluw terhadap rofidhoh.”
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad, dari ‘Abbas, dari Yahya, Ia berkata : “Harun
bin Sa’ad, termasuk yang ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap syi’ah, dan
diantara haditsnya…lalu beliau sebutkan, kemudian berkata : “dan Harun laa
yutaaba’ ‘alaihi [1] dia meriwayatkan
dengan lebih baik dari sanad ini.”
Syeikh
Manshur Mahmud berkata : “ketika ku lihat kembali tarjamah Harun maka kudapati
Ianya adalah rowi yang ‘sholih’[2], dan
sebagaimana yang disebutkan Ibnu ‘Adiy bahwa ke-bid’ahannya ini tidak
menjadikan riwayatnya dho’if, karena dia tidak merubah hadits yang sesuai
dengan kebid’ahannya. Apalagi ada riwayat yang menyatakan jika dia telah ruju’
darinya (dari ajaran syiah pent.)”[3]
Ibnu Hajar
berkata mengenai kedudukannya didalam kitab Taqrib : “shoduq, rumiya bir
rofd (shoduq, terindikasi sebagai rofidhoh) dan dikatakan : Dia telah ruju’ darinya, Imam Muslim telah
meriwayatkan hadits darinya.”[4]
Meskipun
demikian, ternyata didalam jalur ini terdapat masalah lain, diantaranya bahwa
rowi yang meriwayatkan dari Harun adalah Muhammad bin Abi Hafsh, al-kuufiy
al-‘atthor, dan dia adalah rowi yang mutakallim fiih (dipermasalahkan kredibilitasnya)[5]
Dan rowi
dari Muhammad yaitu Yahya bin Al-hasan bin Farrot Al-qozzaz tidak ditemukan
tarjamah (biografinya).
Lalu
Syeikhnya ‘Uqoiliy sendiri, yaitu Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah
al-kuufiy al-‘abasiy sangat jadi perselisihan, sebagian ulama mentsiqohkannya,
dan sebagian yang lain mengatakannya sebagai kadzdzab (pendusta).[6]
Karenanya,
maka jalur ini dho’if dari Abu Sa’id Al-Khudriy.
Yang
kedua, jalur ‘Athiyyah Al-‘Aufiy, dari Abu Sa’id.
Pada
dasarnya, jalur ini sudah dho’if karena
perputaran riwayatnya hanya dari ‘Athiyyah al-‘aufiy, rowi
yang dho’if. Dia telah mentadlis (menyamarkan/mengaburkan kesalahan seperti tampak benar) dengan tadlis syuyukh (seakan-akan dia mendengar hadist yang diriwayatkan langsung dari syeikhnya) didalam
riwayatnya dari Abu Sa’id Al-Khudriy secara khusus, yaitu ketika meriwayatkan
dari Al-kalbiy dengan kunyahnya yaitu Abu Sa’id, dan meriwayatkan dengan kunyah
Abu Sa’id ini muuhiman (sangkaan palsu) jika ia adalah Al-Khudriy.[7]
Riwayatnya
mungkin saja diterima jika dia benar-benar mendengar dari Abu Sa’id Al-khudriy,
akan tetapi kita tidak yakin bahwa dia benar-benar mendengar dari Al-khudriy.
Maka ada kemungkinan hal ini merupakan tambahan dari salah satu rowi yang
meriwayatkan darinya (‘Athiyyah). Dari rowi yang tampak bagi mereka kecurangan
tadlis.
Meskipun
hadits ini sejatinya adalah dhoif karena status ‘Athiyyah yang dho’if, akan
tetapi terjadi perbedaan pendapat akan matan (isi hadist) yang mendorong syeikh
Manshur untuk lebih cermat mencari lafadz yang tsabit darinya. Dan ini mengajak
kita untuk membandingkan antara riwayat-riwayat rowi lain darinya (‘Athiyyah),
oleh karena itu kita akan mempelajari riwayat-riwayat ini lebih terperinci
lagi.
Pertama,
riwayat dari ‘Athiyyah tanpa kalimat “maa in tamassaktum bihi lan tadhillu”.
1- Riwayat
Zakariya dari ‘Athiyyah, ini adalah riwayat yang shohih darinya, Zakariya
adalah Ibnu Abi Zaidah, tsiqoh mudallis,[8] pada riwayat dari ‘Athiyyah ini Zakariya
benar-benar mendengar langsung darinya. Dan rowi yang meriwayatkan dari
Zakariya adalah Imam yang tsiqoh, yaitu Abu Bakar bin Abi Syaibah, dan
ini merupakan derajat sanad yang paling tinggi, sanad yang lebih didahulukan
dari yang lainnya dari segi ke-shohihannya dan sanadnya yang ‘aliy (sanad yang hanya memiliki beberapa rowi saja untuk sampai pada Rosulillah).
2.
Riwayat Abu Isroil, Aswad bin Amir [9] seorang
rowi yang shoduq, akan tetapi para huffadz mempermasalahkan
haditsnya dari dua sisi, yang pertama karena ghuluw (berlebih-lebihan)
dalam tasyayyu’, yang kedua karena mempunyai banyak kesalahan. Adapun
sifat ghuluwnya selagi tidak menjadi pendukung kesyiahannya maka tidak berpengaruh
(tidak bisa dijadikan alasan mendhoifkan haditsnya), sedangkan dari sisi yang
kedua yaitu su’u fihdzihi (buruk hafalannya yang menyebabkan banyak
melakukan kesalahan dalam periwayatan)
tidak terlalu parah sehingga haditsnya masih bisa naik derajatnya jika
ada riwayat lain yang mengikutinya, yaitu riwayat dari Zakariya bin Abi Zaidah,
dan juga A’masy-akan ada penjelasan selanjutnya- maka dapat dikatakan bahwa
riwayatnya ini shohih.
3. Riwayat
Katsir An-Nawwaa’, ini adalah riwayat yang dho’if disebabkan status Nawwa’
sendiri, dan status rowi yang meriwayatkan darinya yaitu Abu Abdurrohman
al-mas’udiy, dan mereka berdua sama-sama dho’if [10]
Thabroniy telah mengisyaratkan ke-dhoifan riwayat ini dengan berkata
setelah meriwayatkan haditsnya : “tidak ada yang meriwayatkan dari Katsir bin
Nawwa’ kecuali Abu Abdirrohman al-mas’udiy.”
4. Riwayat
Abu Maryam al-anshoriy, syeikh Manshur mendapatkan dua riwayat yang ma’ruf
dengan dua nama kunyah, yang pertama seorang Tabi’i yang tsiqoh, orang syam [11] dan yang satunya lagi ‘Abdul Ghoffar bin
al-qoshim [12] orang kufah kadzdzab
(pendusta) ghuluw dalam tasyayyu’, meriwayatkan dari Tabi’in, dan syeikh
merojihkan yang terakhir ini disebabkan dua perkara :
1. At-Thobaqoh
[13] maka jelas dari riwayat yang ada bahwa
dia berada di tingkatan atbaa’u at-taabi’in, dan bukan dari tabi’in.
2. Al-Balad [14]
rowi karena Dia adalah orang kufah, dan syeikhnya orang kufah, dan rowi yang
meriwayatkan darinya juga orang kufah.
Jika
riwayat yang dirojihkan syeikh Manshur benar adanya, maka riwayatnya dho’if
sekali karena statusnya (kadzdzab). Dan jika ternyata yang benar adalah yang
pertama, maka haditsnya juga dhoif dikarenakan adanya Al-Mas’udiy yang telah
disebutkan sebelumnya.
Yang
kedua, riwayat dari ‘Athiyyah dengan kalimat “maa in tamassaktum bihi lan
tadhillu”.
1-Riwayat
Abu Al-Jihaf, Daud bin Abi ‘Auf At-tamimiy [15],
statusnya adalah shoduq laa ba’sa bihi, kaana yukhti’ (shoduq tidak ada cela,
terkadang salah) akan tetapi riwayatnya disini tidak dapat diterima karena dia
ghulat asy-syiah (pentolan syiah yang bersikeras terhadap ajarannya) dan
boleh jadi Ia merubah lafadz hadits yang sesuai ajarannya.
Dan
didalam hadits terdapat rowi yang lebih parah lagi yaitu Talid bin Sulaiman
al-muharibiy, termasuk pentolan syiah, yang mencaci Abu Bakar, Umar, dan
Utsman, serta sahabat yang lain, selalu berdusta, terutama terhadap Abu Jihaf
pada keutamaan ahli bait, maka haditsnya tertolak tanpa ampun.[16]
2-Riwayat
Harun bin Sa’ad, pembahasan tentang Harun ini telah dikupas sebelumnya (jalur pertama dari Abu Sa’id) yang
tampak bahwa Ia termasuk rowi yang sholihul hadits (bagus haditsnya)
meskipun berlebih-lebihan dalam tasyayyu’, akan tetapi rowi yang meriwayatkan
darinya telah tafarrud (bersendiri
dalam periwayatan, tidak ada rowi yang lain yang meriwayatkan haditsnya) dia
adalah Yunus bin Arqom, orang syiah layyinu al-hadits [17]. Rowi seperti ini tidak bisa berdiri sendiri
jika tidak ada riwayat lain yang menguatkannya, selain itu dia juga tafarrud.
Setelah meriwayatkan hadits ini Thabroniy mengisyaratkan bahwa haditsnya ghorib, Beliau berkata : “tidak ada rowi lain yang
meriwayatkan dari Harun bin Sa’ad kecuali Yunus bin Arqom.”
Yang
ketiga adalah riwayat yang diperselisihkan oleh para rowi dari ‘Athiyyah.
1-Riwayat
Sulaiman Al-A’masy : dalam riwayat ini terdapat perselisihan para rowi yang
meriwayatkan darinya.
Rowi
yang meriwayatkan dengan kalimat “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”.
Yaitu Muhammad bin Fudhoil, yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ali bin
Mundzir, dari Muhammad bin Fudhoil darinya (A’masy) dan Dia berkata : “haditsun
hasanun ghorib” . Riwayat ini dhoif dari
dua sisi :
- Status
‘ali bin Mundzir yang diperselisihkan, begitu juga dengan Ibnu Fudhoil,
ditambah posisinya sebagai orang syiah, dan boleh jadi haditsnya berubah sesuai
dengan ajarannya.
- Menyelisihi
riwayat Muhammad bin Tholhah-akan disebutkan nanti-.
Dan
riwayat ini telah dibahas sebelumnya (ketika mengupas hadits Zaid bin Arqom)
dan telah diterangkan berbagai macam ketimpangan-ketimpangan disana, sehingga
yang tampak bahwa dengan hal itu semua hadits ini dinyatakan dhoif.[18]
Rowi
yang tidak meriwayatkan dengan kalimat “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu”.
Terdapat 3 orang rowi, mereka adalah
Muhammad bin Tholhah, Sholih bin Abi al-aswad, dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Quddus.
Muhammad
bin Tholhah statusnya adalah shoduq mempunyai banyak awham (kekeliruan/kerancuan)[19] telah meriwayatkan darinya Abu Nadhr Hasyim
bin Qosim dan dia tsiqot tsabt (derajat pertama dalam istilah ta'dil)[20]
dan Bisyr bin walid, tsiqoh fihi kalaam[21] maka
jalur ini jayyid hasan yang diriwayatkan dari ‘Amasy.
Adapun
jalur yang lainnya maka dhoif kedu-duanya, Sholih ini rowi yang yang majhul[22] (tidak diketahui identitasnya) sedangkan ‘Abdullah bin
‘Abdul Quddus dan rowi yang meriwayatkan darinya yaitu Abdullah bin dahir
mereka berdua adalah rofidhoh yang buruk.[23]
Oleh
karenanya, maka riwayat yang tsabit dari ‘Amasy adalah dari jalur ‘Athiyyah
yang meriwayatkan haditsnya tanpa ada kalimat “maa in tamassaktum bihi lan
tadhilluu”.
2.
Riwayat ‘Abdul Malik bin Abi sulaiman[24] Terdapat
perselisihan diantara rowi dalam periwayatan darinya.
- Rowi
yang meriwayatkan tanpa kalimat “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu” :
yaitu Ibnu Numair.
- Dan tiga
orang rowi lainnya meriwayatkan dengan tambahan, mereka adalah Ibnu Numair,
Muhammad bin Fudhoil, dan Ali bin Mushir.
Ibnu
Numair, dia adalah Muhammad bin Abdullah bin Numair al-hamadaniy, tsiqoh
haafidz fadhil [25] rowi yang
meriwayatkan darinya adalah Imam Ahmad, maka sanad dari Abdul Malik melalui
jalur ini shohih, akan tetapi terdapat isykal (masalah) dari Imam Ahmad yang
mana didalam musnadnya beliau meriwayatkan dari dua sisi, dan syeikh Manshur
tidak bisa memastikan mana riwayat yang shohih diantara keduanya. Meskipun
demikian riwayat yang mengandung tambahan akan tampak rojih jika dipadukan
dengan riwayat Ibnu Mushir -akan disebutkan nanti-.
Adapun
Ibnu Fudhoil, maka pembahasan tentangnya sudah pernah diterangkan sebelumnya,
statusnya adalah shoduq, akan tetapi dia seorang syiah yang getol, dan rowi
yang meriwayatkan darinya adalah Sufyan bin Waqi’, matruuk al-hadits (derajat rowi yang sangat dhoif)[26] Maka isnad seperti ini tidak bisa dijadikan
hujjah.
Adapun
Ali bin Mushir maka dia adalah rowi yang tsiqoh tsabt[27] dan rowi yang meriwayatkan darinya adalan
Munjab bin Al-harits, tsiqoh (derajat kedua dalam ta'dil).[28] Dan rowi
yang meriwayatkan darinya adalah Muhammad al-hadromiy-yang dijuluki dengan
Muthin-, juga tsiqoh. Maka isnad ini shohih dari Abdul Malik, oleh karenanya
yang tsabit dari riwayat Abdul Malik adalah riwayat yang terdapat kalimat “maa
in tamassaktum bihi lan tadhilluu”.
Imam
Ahmad telah mendhoifkan hadits Abdul Malik dari ‘Athiyyah,- dan menurut syeikh
manshur- beliau (Imam Ahmad) mendhoifkannya karena status ‘Athiyyah sendiri,
Imam Bukhori berkata : “Ahmad berkata pada hadits Abdul Malik, dari ‘Athiyyah,
dari Abi Sa’id, Nabi shallallahu’alaihi
wasallam bersabda : “taroktu fiikum ats tsaqolaini, hadits-hadits orang
kufah ini manakiir.” (banyak yang munkar)[29]
KESIMPULAN
ANALISIS
Pertama,
hadits Abu sa’id dhoif dari kedua jalurnya.
Kedua,
yang rojih pada hadits ‘Athiyyah dari Abi Sa’id -bersamaan dengan kedhoifannya-
bahwasanya hadits tersebut tidak mengandung kalimat “maa in tamassaktum bihi
lan tadhilluu”, yang shohih dari ‘Athiyyah adalah tanpa kalimat ini dari
jalur Zakariya bin Abi Zaidah, Abu Isroil al-malai, dan ‘Amasy, dan yang
menyelisihi mereka adalah Abdul Malik bin Abi Sulaiman dan menambah kalimat
ini. Dan riwayat mereka lebih didahulukan dari pada riwayatnya, karena jumlah
mereka lebih banyak, dan diantara mereka terdapat rowi yang lebih tsiqoh
darinya (Abdul Malik), yaitu Zakariya. Jika yang dirojihkan riwayat mereka
(Zakariya bin Abi Zaidah, Abu Isroil al-malai, dan ‘Amasy) maka pada hadits
terdapat idthirob (kebimbangan/kekacauan) yang sangat jelas dari
‘Athiyyah. Oleh karenanya, maka hadits mempunyai dua kemungkinan, yang pertama
haditsnya shohih dari ‘Athiyyah tanpat tambahan kalimat “maa in tamassaktum
bihi lan tadhilluu”, yang kedua terdapat idthirob pada ‘Athiyyah disebabkan
perselisihan diantara rowi tsiqoh darinya. Adapun hadits ini shohih dari
‘Athiyyah maka kita katakana tidak benar.
Dengan
demikian, maka hadits Abi Sa’id -bersamaan dengan kedhoifannya- tidak
mengandung kalimat “maa in tamassaktum bihi lan tadhilluu” dari seluruh
jalur yang ada.
Wallahu’alam.
Fotenote
[1] Tidak ada rowi lain yang
meriwayatkan haditsnya dengan sanad yang sama.
[2] Tahdzibu Al kamal, Al-Mizzi
30/85-88 tarjamah no.6512
[3] Tahdzibut tahdzib, Ibnu Hajar
11/6
[4] Taqribut tahdzib, Ibnu Hajar
568 tarjamah no.7227
[5] lisanu al-mizan Ibnu Hajar,
5/146 tarjamah no.489
[6] lisanu al-mizan Ibnu Hajar,
5/280 tarjamah no.965, Tadzkirotu al-huffadz, Adz-dzahabi 2/661 tarjamah no.681
[7] Al-‘ilal wa ma’rifatu
ar-rijal 1/548,549, Al-Jarh wa Ta’dil 6/382 tarjamah no.1306, Tahdzibu
at-tahdzib, Ibnu Hajar 7/201 tarjamah no.414
[8] Tahdzibu al-kamal al-mizzi
359, tarjamah no.1992, Taqribu At-tahdzib Ibnu hajar 216 tarjamah 2022
[9] Tahdzibu al-kamal al-mizzi
3/77 tarjamah no.440, Tahdzibu at-tahdzib Ibnu Hajar 1/657 tarjamah no.545,
Taqribu At-tahdzib 107 tarjamah 440
[10] Tahdzibu al-kamal al-mizzi
24/104 tarjamah no.4935, Taqribu At-tahdzib 459 tarjamah no.5605, Ad-Dhu’afaa’
Al-‘Uqoiliy 2/275, lisanu al-mizan Ibnu Hajar 3/312
[11] Tahdzibu al-kamal al-mizzi
34/281, Taqribu At-tahdzib Ibnu hajar 672, Al-Kasyif adz-dzahabi 2/459,
[12] Ad-dhu’afaa’ al-‘uqoiliy 3/100 No.1075,
Al-kamil fi ad-dhu’afaa’ Ibnu ‘Adiy 327 No.1479, Lisanu al-mizan 4/42 No.123
[13] tingkatan rowi atau masa
hidupnya
[14] Negri atau tempat tinggal
rowi
[15] Tahdzibu al-kamal al-mizzi
8/434 No.1779, Tahdzibu at-tahdzib 3/170
[16] Tahdzibu at-tahdzib 1/447
No.947
[17] At-tarikh al-kabir 8/410
No.3518, Lisanu al-mizan 6/331 No.1179
[18] lihat di postingan
sebelumnya
[19] Tahdzibu at-tahdzib 9/211
No.381
[20] Taqribu At-Tahdzib 570
No.7256
[21] Lisanu al-mizan Ibnu Hajar
2/35 No.120
[22] Lisanu al-mizan 3/166 No.671
[23] diriwayatkan oleh ‘Uqoiliy,
dan dia berkata sebelum meriwayatkannya : “Abdullah bin Dahir ar-rozi ar-rofidi
khobits, dari Abdullah bin abdul quddus asyarru (lebih buruk) darinya, kedua-duanya
rofidhoh.
[24] Tahdzibu at-tahdzib 6/352
No.751, Taqribu At-Tahdzib 363 No.4148
[25] Tahdzibu al-kamal, Al-Mizzi
16/225 No.3618
[26] Tahdzibu at-tahdzib 4/109
No.210
[27] Taqribu at-tahdzib 1/405
[28] Taqribu at-tahdzib Ibnu Hajar
545
[29] At-tarikh As-shoghir 1/267
sumber tulisan : حديث الوصية بالثقلين دراسة حديثية, الشيخ الدكتور منصور محمود الشرايري
Madinah Nabawiyyah, 01/04/1435 H.
Madinah Nabawiyyah, 01/04/1435 H.
Tweet

0 comments:
Post a Comment