9 Ungkapan Imam Tirmidzi dalam Menghukumi Hadits

Dalam menghukumi sebuah hadits, Imam Tirmidzi-rohimahullah- mempunyai
ciri khas tersendiri dalam masalah ta’biiroot (التعبيرات)
yaitu ungkapan-ungkapan atau lafadz-lafadz tertentu. Syeikh Muhammad Dhiyaau
Ar-Rohman Al-A’dzomiy-hafidzohullah- menyebutkan, ada sekitar 9
(sembilan) macam ungkapan atau lafadz yang digunakan oleh imam Tirmidzi, yang
mana setiap ungkapan mempunyai makna tersendiri, baik menurut imam Tirmidzi
sendiri, atau menurut pengamatan dari kalangan ahlul ‘ilmi (ulama), berikut
keterangannya :
1) Hadza haditsun shohihun (هذا حديث صحيح) “Ini adalah hadits yang shohih”. menurut Imam Tirmidzi, lafadz Shohih adalah ta’bir yang paling tinggi dalam derajat hadits.
2) Hadza haditsun shohihun ghoribun (هذا حديث صحيح غريب) “Ini adalah hadits yang shohih, ghorib”. Lafadz ini digunakan untuk hadits yang mempunyai derajat di bawah hadits sebelumnya (shohih saja). Kenapa demikian? sebab lafadz yang pertama mengandung kemungkinan bahwa hadits tersebut diriwayatkan dari banyak jalur, sehingga jika ada salah satu jalur yang dhoif, maka jalur-jalur lain menguatkannya.
Namun jika disebut bahwa hadits tersebut shohih ghorib, maka yang dimaksud dengan ghorib disini adalah hadits yang mempunyai satu jalur hadits saja. Dan boleh jadi jalur ini shohih menurut Imam Tirmidzi, sedangkan menurut ulama yang lain tidak.
3) Hasanun shohihun (حسن صحيح), perkataan Imam Tirmidzi inilah yang menimbulkan masalah bagi sebagian ulama, yaitu menggabungkan dua ta’bir yang masing-masing memiliki makna yang berbeda.
Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa :
a) Hadits tersebut mempunyai dua jalur, yang pertama shohih, dan
yang kedua hasan.
b) Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud Imam Tirmidzi
adalah hasan secara bahasa bukan istilah.
c) Ada yang memilih jalan pertengahan dengan menggabungkan
keduanya yaitu derajat pertengahan atara shohih dan hasan. dan lain sebagainya.
‘Ala kulli haal, kita katakan Allahu A’lam, hanya Allah kemudian Imam Tirmidzi yang tahu dengan makna sebenarnya. Dan ta’bir ini ditujukan Imam Tirmidzi untuk hadits hasan.
4) Hasan shohih ghorib (حسن صحيح غريب), lafadz ini juga mengundang perselisihan dikalangan ulama. Ta’bir ini juga digunakan untuk hadits hasan.
5) Hadza haditsun hasan (هذا حديث حسن). tidak dikaitkan dengan sesuatu, sehingga memungkinkan adanya isnad dari jalur yang berbeda.
6) Haditsun hasanun wa laa yurwa illa min hadza al-wajh (حديث حسن ولا يروى إلا من هذا الوجه), hadits seperti ini lebih rendah derajat haditsnya jika dibandingkan dengan ta’bir sebelumnya, sebab ta’bir sebelumnya (no.5) ada kemungkinan diriwayatkan dari jalur lain. akan tetapi ta’bir seperti ini لا يروى إلا من هذا الوجه berarti hadits tersebut hanya mempunyai satu jalur.
7) Hasanun ghoriibun (حسن غريب), ta’bir ini memiliki makna yang sama dengan sebelumnya, yaitu hanya mempunyai satu jalur.
Sedangkan letak perbedaannya adalah, jika yang kedua (no.7) terdapat rowi yang shoduq, maka perlu ditinjau kembali, apakah terdapat nakaroh atau tidak, menyelisihi riwayat lain atau tidak. adapun jika rowinya duuna shoduuq (derajat rowi dibawah shoduq, seperti mastur, majhul, muttaham, dll) maka tidak diragukan lagi haditsnya dhoif.
8) Ghoriibun (غريب) secara umum biasanya ta’bir ini untuk hadits dhoi’if, yang mana di dalam isnadnya ada rowi yang tertolak (duuna shoduuq).
9) Hadza haditsun laa yashih (هذا حديث لا يصح)
isnaaduhu laisa bilqooim (إسناده ليس بالقائم)
isnaaduhu laisa bilmuttashil (إسناده ليس بالمتصل)
Ketiga ungkapan ini digunakan untuk hadits dhoif. dan jika kita
menemukan ada kitab dengan cetakan yang berbeda dan mengatakan bahwa ta’bir ini
untuk hadits hasan maka dapat kita pastikan bahwa ini merupakan kesalahan, baik
itu dari pentahqiq, penerbit, atau yang lainnya.
Demikian, semoga bermanfaat
__________
Senin, 18/04/1435 H
faidah dars syarh Ikhtishor Ulumi Al-Hadits, karya Ibnu Katsir
oleh syeikh Muhammad Diyaau Ar-Rohman Al-A'dzomiy-hafidzohullah. Beliau adalah
pengajar di Mesjid Nabawi dan di Jami'ah Islamiyah fak.hadits (سابقا).
Tweet
0 comments:
Post a Comment