AL-MU'ALLU (Ditinjau dari Segi Bahasa, Istilah, dan Penggunaan Kata 'Illah) bag.1

1) Pengertian Hadits Mu'all Secara Bahasa
Hadits mu'all (المعل) adalah salah satu macam hadits dhoif yang adaqqu anwaa'i al-hadits (أدق أنواع الحديث) maknanya untuk mengetahui jenis hadits ini diperlukan pengamatan yang tajam, ketelitian yang akurat, kecermatan, dan pemahaman yang mendalam untuk mengungkapnya.
Sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar
di dalam kitabnya Nuzhatun Nadzor hal.90 cet.Al-Ma'arif.
Baiklah, untuk membungkam rasa penasaran kita pada jenis
hadits yang fenomenal ini, mari kita kupas kulit luarnya terlebih dahulu, agar
isi mu'all yang manis itu dapat kita rasakan.
Secara bahasa, kata mu'allu berporos pada tiga kata kerja
dalam bahasa arab :
1.
Ma'lul (معلول)
berasal dari kata 'alla (عل) yang berarti at-tikrooru (التكرار) yaitu mengulang-ulangi.
2.
Mu'allalu
(معلل)
berasal dari kata 'allala (علل) isim maf'ulnya yang berarti al-ilhaa'u atau asy-syughlu (الإنهاء و الشغل)
yaitu menjadikan atau membuatnya sibuk.
3.
Al-mu'allu
(المعل)
berasal dari kata a'alla (أعل) yang berarti al-marodhu wa ad-dho'fu fi asy-syai'i (المرض و الضعف في الشيء) yaitu penyakit atau lemah pada sesuatu.
Ulama hadits berbeda pendapat dalam masalah penggunaan
istilah hadits ini. sebagian ada yang mengatakan ma'lul, sebagaimana yang
dinukil dari Imam Tirmidzi dari Imam Bukhori, begitu juga dengan ahli ushul,
dan yang mereka inginkan adalah bahwa hadits mu'all ini mengandung ke-dho'ifan.
Akan tetapi jika kita kembalikan keasal kata ma'lul dalam
bahasa arab maka artinya adalah mengulang-ulangi dan bukan lemah, oleh karena
itu penggunaan istilah ma'lul ini sebenarnya kurang tepat jika dikaitkan dengan
bahasa arab.
Ulama yang menggunakan istilah ma'lul ini berdalih dengan dua
perkara :
1- Bahwasanya ada salah satu ulama lughoh (ahli bahasa) yang mengatakan
bahwa 'alla atau ma'lul itu berarti sakit, akan tetapi pendapat ini dibantah
oleh ulama lughoh yang lain dan mengatakan bahwa arti sakit itu tidak digunakan
dalam istilah arab.
2- Meng-qiyaskan ma'lul seperti maslul (مسلول) atau majnun (مجنون) yang
berasal dari kata sulla (سل) dan junna (جن), 'ulla (عل) jadi ma'lul (معلول). akan tetapi meng-qiaskan sesuatu pada
kata yang as-simaa'i (السماعي) yaitu tidak ada dalam kaidah bahasa arab akan tetapi hanya
berdasarkan sesuatu yang sering dan biasa didengar dari telinga ketelinga.
Sedangkan penggunaan istilah mu'allal juga dikatakan tidak
tepat bila yang dimaksud adalah hadits yang mengandung kelemahan, kecuali
dita'wil, akan tetapi makna ta'wilnya pun jauh dari yang dimaksudkan.
So..istilah yang tepat untuk hadits ini adalah mu'allu yang
berarti didalam hadits tersebut terdapat penyakit (cacat) dan lemah.
Namun sebagian ulama ada yang agak longgar dalam istilah ini,
mereka mengatakan bahwa boleh mengunakan ketiga-tiga kata diatas. katanya
ma'lul berarti ulama hadits mengulang-ulangi pencarian jalur hadits sampai
menemukan 'illah (cacat) dari hadits tersebut. lalu mu'allalu mereka kaitkan
dengan penelitian cacat hadits tersebut yang membuat ahli hadits sibuk
dengannya.
Apapun itu, selama tidak mempengaruhi makna hadits yang
dimaksud ahli hadits maka kami kira sah-sah saja...wallahu A’lam.
2)
Pengertian Secara Isthilah
Sudah lumrah jika ahli hadits saat mendefinisikan
istilah-istilah ilmu hadits terdapat perbedaan, karena memang tidak ada kaidah
tertentu untuk itu. terkadang definisi tersebut mereka bangun atas
pembahasan-pembahasan ahli hadits pendahulunya, ada yang mengartikan asli
berasal dari "saku pribadi"nya, dan ada pula yang menggabungkan
definisi-definisi yang pernah ada lalu diteliti, menyingkirkan kalimat yang
terulang maknanya, mencari suku kata yang pas, singkat, padat dan mencakup
makna yang dimaksud, sebagaimana yang (secara umum) digeluti Al-Hafidz Ibnu
Hajar, sehingga ta'rifaat atau definisi-definisinya selalu digandrungi,
diikuti, disepakati, dirojihkan ahli hadits lainnya baik yang sejaman dengan
beliau maupun ulama-ulama kontemporer, termasuk dalam mendefinisikan hadits al-mu'all ini.
1- Al-Hakim didalam kitabnya Ma'rifatu 'Ulumi Al-Hadits
mencoba untuk mendefinisikan hadits mu'all ini, akan tetapi jika dicermati
secara seksama maka dapat disimpulkan bahwa definisi yang beliau maksudkan itu
lebih condong untuk dikatakan sebagai at-taudhih atau penjelasan dari
hadits tersebut. Beliau juga cenderung menerangkan istilah-istilah yang sudah
terlebih dahulu digunakan ulama-ulama sebelunnya.
Didalam penjelasanya Imam Hakim ini menyinggung masalah al-khofaa'
atau (cacat) yang tersembunyi. dan ini termasuk kedalam salah satu syarat
hadits dikatakan mu'all.
2- Sedangkan Ibnu Sholah, beliau mengartikan hadits mu'all itu
dengan :
(الحديث الذي اطلع فيه على علة تقدح
في صحته مع أن الظاهر السلامة منها)
“Hadits yang ditemukan padanya cacat, dan mempengaruhi
ke-shohihannya, padahal secara kasat mata (hadits tersebut) terbebas darinya
(cacat itu).”
Namun pada ta'rif ini terdapat pengulangan kata (yaitu
kata 'illah) dari yang dita'rif (mu'all), dan ini membutuhkan penjelasan lagi
diluar definisi mu'all itu sendiri, yaitu apa yang dimaksud dengan illah
disini???sehingga pengertian dari Al-Hafidz Ibnu Sholah ini serasa kurang
tepat.
3- Adapun Ibnu Hajar, mengenai hadits mu'all ini beliau
berkata :
(حديث ظاهره سلامة, اطلع فيه بعد
التفتيش على القادح)
“Hadits yang secara zahir tampak sehat/selamat (dari cacat),
dan setelah diteliti (kembali) ternyata terdapat cacat yang buruk.”
Ternyata ta'rif Ibnu Hajar yang ini jika dicermati kembali,
juga terjadi pengulangan dalam makna, dimana potongan kalimat yang pertama (حديث ظاهره سلامة)
lebih kurang sama artinya dengan kalimat yang kedua (اطلع
فيه بعد التفتيش على القادح),
mengapa bisa dikatakan demikian? sebab hadits yang tanpak jelas cacatnya tidak
diperlukan lagi penelitian, atau dikatakan bahwa penelitian itu ditujukan untuk
yang belum jelas hakikatnya.
Misalnya hadits :
عَنِ ابْنِ الْمُسَيِّبِ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : نَهَى عَنْ بَيْعِ اللَّحْمِ بِالْحَيَوَانِ
"Dari Ibnu Al-Mutsayyib, bahwa Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang jual beli daging dengan hewan."
Hadits seperti ini tidak dibutuhkan penelitian yang mendalam
lagi, sebab diriwayatkan oleh Sa'id bin Musayyib langsung ke Rosulillah shallallahu'alaihi
wasallam, padahal beliau adalah Tabi'in yang sudah jelas tidak pernah bertemu
dengan Rosulullah shallallahu'alaihi wasallam.
Oleh karena itu, untuk mendefinisikan hadits mu'all ini cukup
kiranya kita katakan; Hadits yang memiliki
cacat setelah dilakukan penelitian ulang.
3) Pengunaan Istilah 'Illah
1.
Makna
khusus
Yaitu pengertian hadits mu'all yang telah kami sebutkan
sebelumnya (setiap hadits yang ditemukan didalamnya cacat setelah penelitian
yang mendalam)
istilah ini digunakan oleh ulama kontemporer, dan sebagian
dari ulama terdahulu.
2.
Makna umum
Yaitu penyebab yang menjadikan setiap hadits menjadi dhoif,
baik yang tampak secara kasat mata maupun tersembunyi. Istilah ini digunakan oleh ahli hadits klasik, juga
ahli hadits saat ini.
3.
Sesuatu
yang tidak mencederai keshohihan hadits.
Istilah ini digunakan hanya oleh segelintir ulama saja,
seperti Al-Kholili dan menyebut hadits tersebut dengan Shohih Ma’lul.
Misalnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh 'Urwah, beliau
ini terkadang meriwayatkan hadits secara maushul (bersambung) sampai kepada
Nabi, dan terkadang memotong sanadnya tanpa menyebutkan nama sahabat. Dan riwayatnya tersebut tidak mempengaruhi keshohihan
hadits, mengapa? sebab diketahui jika 'Urwah ini disaat kegigihannya dalam
meriwayatkan hadits berkurang atau melemah, beliau menisbatkan hadits kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa menyebutkan nama sahabatnya
(mursal). dan menyebutkan atau meriwayatkan hadits secara utuh dengan sanadnya
jika dalam kondisi yang fit.
4.
Sesuatu
yang menjadikan hadits tidak lagi diamalkan (an-naskhu).
Dan istilah ‘illah untuk hadits naskh ini digunakan oleh Imam
Tirmidzi sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafidz Ibnu Sholah dari Imam
Tirmidzi. Namun klaim Ibnu Sholah ini dipersoalkan oleh Imam Nawawi dan Imam
Suyuthi, dimana atau di kitab apa Tirmidzi menyebutkan istilah 'illah ini untuk
hadits naskh???
Imam Tirmidzi (syarh 'ilal at-tirmidzi hal.323) berkata :
جميع ما في هذا الكتاب من الحديث هو معمول به ، وبه أخذ بعض أهل
العلم ما خلا حديثين
“Semua hadits yang terdapat di dalam kitab ini adalah hadits
yang diamalkan. dan digunakan oleh ulama kecuali dua hadits,
حديث ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع بين الظهر
والعصر بالمدينة ، والمغرب والعشاء من غير خوف ولا سفر ولا مطر
1) Hadits Ibnu 'Abbas, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam menjama' antara dzuhur dan ashar di Madinah, antara maghrib dan
isya' bukan (dalam kondisi) yang menakutkan, bukan dalam perjalanan, dan tidak
hujan.
وحديث النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال إذا شرب الخمر فاجلدوه
فإن عاد في الرابعة فاقتلوه
2) Hadits Nabi shallallahu'alaihi wasallam bawasanya
beliau bersabda : Jika seseorang meminum khomr, maka cambuklah ia, jika kembali
(meminum khomr) untuk yang ke-4 kalinya maka bunuhlah."
Mengomentari perkataan Imam Tirmidzi ini, Ibnu
Rojab-rohimahullah- (syarh 'ilal tirmidzi hal.324) berkata :
فإنما بين ما قد يستدل به للنسخ، لا أنه بين ضعف وإسناد
“Maka pada hakikatnya ia (Imam Tirmidzi) menjelaskan apa yang
dijadikan dalil untuk naskh, bukan menjelaskan ke-dhoif-an dan isnadnya.”
Nah, mungkin dari perkataan ini lah kemudian Ibnu Sholah
mengambil kesimpulan bahwa Imam Tirmidzi menggunakan istilah 'illah pada hadits
mansukh. Di kesempatan yang lain, ternyata Ibnu Abi Hatim di
dalam kitabnya 'Ilal juga menyebutkan hadits mansukh seperi hadits Sa'id bin
Abi Waqqosh rodhiallahu'anhu yang meletakkan tangannya diantara kedua
kakinya ketika ruku' dan ini waktu di mekah.
Intinya, jika memang benar itu yang dimaksud, maka hal itu
sangat jarang terjadi.
Wallahu A’lam..
____________
Madinah Nabawiyah, 13/04/1435 H
sumber : catatan kami dalam mata kuliah mustholah hadits dari
kitab tadribu ar-rowi karya al-hafidz As-Suyuti rohimahullah.
Tweet
0 comments:
Post a Comment