Syarh Ikhtishor 'Ulumi Al-Hadits bag.3

, by Unknown


33. Sumber hadits shohih : shohih Bukhori Muslim, Muwattho' Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, dan Sunan yang 4 (Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah)

34. Hadits Hasan, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadits hasan. Akan tetapi mereka sepakat bahwa hasan itu diantara shohih dan dho'if, tidak shohih, dan tidak pula dho'if. 

35. Syeikh-hafidhohullah- mengatakan bahwa belum ada ulama yang benar-benar tepat mendefinisikan hadits hasan. setiap ulama mendefinisikan hadits hasan ini menurut pemahaman mereka masing-masing.

36. Mengenai definisi Al-Khotthobiy (ماعرف مخرجه واشتهر رجاله) setiap hadits yang diketahui sumbernya, dan masyhur para rowinya, ini termasuk definisi hadits shohih (menurut syeikh).

mengapa bisa dikatakan demikian? sebab kitab-kitab shohih diatas juga telah diketahui sumbernya baik dengan nash, ketenaran, atau dengan jumlah rowi yang meriwayatkan hadits tersebut. begitu pula dengan kalimat 'masyhur para rowinya, ini juga definisi hadits shohih. jadi ta'riif (definisi) ini tidak tepat untuk hadits hasan.

37. Salah satu ulama yang pertama kali menta'rif hasan adalah imam Tirmidzi, sebagaimana di bagian akhir kitabnya (Jaami'u As-Sunan) beliau menyebutkan 2 syarat :
- rijal (rowi) hadits yang tidak muttaham bil kadzib. 
- diriwayatkan dari sisi lain.
namun kedua syarat ini tidak diterapkan di dalam kitabnya.

38. Jika kita katakan secara ringkas; hadits hasan adalah hadits yang dhobt para rowinya lebih ringan dari pada dhobt rowi shohih (baik dhobtu as-shodr maupun dhobtu al-kitab) bersamaan dengan 'adalahnya. dan rowi yang memiliki sifat seperti ini di sebut shoduq.

akan tetapi siapa yang disebut dengan rowi shoduq itu? sebab boleh jadi rowi tersebut ditsiqohkan oleh Ibnu Ma'in, sebab beliau mutasaahil didalam mentautsiq, dan Abu Hatim menjarh rowi tersebut dan tidak dijelaskan sebab jarhnya (biasanya dengan menggunakan istilah fulaanun syeikh, atau fulan mutawassith -didalam kitab 'ilal-). maka diantara tautsiq dan tajrih itu lah yang dinamakan shoduq, sebagaimana yang menjadi pilihan Ibnu Hajar di dalam kitabnya Taqriibu At-Tahdzib.

39. Secara umum martabat rowi hadits hasan adalah shoduq, shoduq yukhti', shoduq lahu awham, atau mastur yang diriwayatkan oleh beberapa rowi dan tidak dijarh maka hadits rowi seperti ini haditsnya disebut dengan hadits hasan.

40. Ta'rif (definisi) ini sebenarnya tidak terlalu penting, yang terpenting adalah tathbiiq yaitu penerapan. sebab setiap ta'rif yang ada masing-masing telah dikritisi. ketika kita mentakhrij hadits, maka bagaimana kita menerapkan ta'rif tersebut.

41. Adapun pengertian Tirmidzi (juga diriwayatkan dari sisi/jalur lain) maka ini gunakan untuk selain hadits hasan, yaitu selain shoduq yang membutuhkan mutaaba'at. kecuali rowi yang muttahim maka mutaba'ah tidak ada manfaatnya.

42. Setelah shohih Bukhori dan Muslim, kebanyakan hadits-hadits yang ada adalah hadits-hadits hasan.

43. Hadits hasan menurut Titmidzi, tidak muttaham, dan tidak ada 'illah (baik syadz, munkar, dll) sebab hadits hasan tidak disebut hasan jika terdapat nakaroh, serta diriwayatkan dari sisi lain.

Sangat aneh jika Ibnu Katsir mempertanyakan perkataan Tirmidzi akan ta'rif hasan ini disebutkan didalam kitab apa? padahal perkataan Imam Tirmidzi jelas-jelas ada termaktub didalam bagian akhir kitabnya Jaami'u as-sunan yang disebut dengan 'ilal shoghir.

Syeikh berkata : "Mungkin saja kitab sunan Tirmidzi milik Ibnu Katsir dibagian terakhir tidak ada 'ilal shoghirnya, sehingga beliau menafikan perkataan Tirmidzi tersebut."
"padahal 'ilal shoghir tersebut merupakan manhaj Tirmidzi didalam menyusun kitabnya, seakan-akan beliau ingin menjelaskan manhaj penyusunan kitabnya." sambung Syeikh-hafidzohullah-.

44. Di dalam kitabnya, Imam tirmidzi sering menyebutkan istilah laa yurwa illa min hadza al-wajh (tidak diriwayatkan kecuali melalui jarul ini) sedangkan dalam ta'rif hasan beliau mensyaratkan wa yurwa min ghoir wajhin (dan diriwayatkan dari jalur lain) dan ini yang membuat Ibnu Katsir mengkritik ta'rif Tirmidzi.

45. Tidak diragukan lagi bahwa hadits hasan mempunyai beberapa pengertian. Sebagai kesimpulan, hadits hasan itu berada diantara hadits shohih dan dhoi'f, mempunyai syarat dan sifat seperti hadits shohih kecuali pada dhobt rowi yang lebih rendah posisinya dari dhobt rowi hadits shohih.

46. Yang dimaksud dengan qillatu ad-dhobt (sifat rowi hadits hasan), ialah jika ia meriwayatkan dari hafalannya, mulazamah dengan syeikhnya dalam waktu yang singkat. terkadang salah, dan terkadang benar. jika benar maka hasan, jika salah maka dhoif.

47. Hadits dapat dikatakan hasan jika diriwayatkan dari dua sumber yang berbeda, kedua-duanya bertemu baik pada tabi'i atau sahabat, dan salah satu diantaranya tidak ada rowi yang muttaham bil-kadzibi (tertuduh telah berdusta) akan tetapi hanya jelek hafalannya, banyak salahnya, atau yang kacau hafalannya jika ada riwayat lain yang mengikutinya atau mendukungnya maka haditsnya disebut hasan.

48. Akan tetapi kadang-kadang, meskipun hadits tersebut memiliki banyak jalur, tidak mesti haditsnya menjadi hasan. sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu Sholah, yaitu hadits al-udzunaani min ar-ro'si.

49. Mengenai hadits tersebut, ulama hadits berselisih pendapat apakah dengan banyaknya jalur periwayatan hadits ini menyebabkan haditsnya menjadi hasan atau tidak?

At-Tirmidzi : isnaduhu laisa biqooim (maknanya bahwa isnadnya tidak shohih)
Ad-Daruquthni : hadits tersebut mauquf, begitu pula Ibnu Sholah
Zaila'i dan lainnya : paling tidak hasan, dan boleh jadi shohih

50. Ulama berbeda pendapat apakah telinga termasuk kepala, bagian dari wajah, atau anggota badan sendiri.

yang shohih adalah bagian dari kepala, Imam Ahmad ditanya apakah telinga termasuk bagian dari kepala? beliau menjawab : "iya". lalu ditanya kembali, apakah haditsnya shohih? beliau menjawab : "tidak shohih."

riwayat yang paling masyhur adalah riwayat Umamah yang ada di Jami' Tirmidzi, dan beliau sendiri yang menghukumi bahwa haditsnya tidak shohih. Jadi Imam Tirmidzi yang pertama kali mengingkari bawha haditsnya bukan dari Nabi, begitu pula denga Daruquthniy di dalam kitabnya 'Ilal, yang mana beliau mengumpulkan jalur-jalur hadits tersebut dan menghukumi jika semua jalurnya mauquf (hanya sampai pada sahabat).


51. Hadits "al-udzunaani min ar-ro'si" (telinga adalah bagian dari kepala) bukanlah perkataan Nabi shallallahu'alaihiwasallam, akan tetapi perkataan sahabat.
Baihaqi meriwayatkan hadits bahwa Nabi mengusap telinganya, dan ini tidak shohih.

52. Jika ada yang perpendapat bahwa telinga bagian dari kepala, maka dia harus mengusap telinganya dengan sisa air ketika mengusap kepalanya.

jika berpendapat behwa bagian dari wajah, maka basuhlah bersamaan dengan wajah.

dan jika berpendapat bahwa telinga buka bagian dari kepala, bukan pula dari wajah, maka disinilah letak perbedaan para ulama, Imam Syafi'i berpendapat bahwa disunnahkan mengusap telinga dengan air baru, sedangkan jumhur cukup dengan air bekas usapan kepala, bukan karena hadits diatas, akan tetapi perkataan sahabat, tabi'in, dan seterusnya.

53. Dalil Ibnu Sholah dalam mendhoifkan hadits ini ialah bahwa riwayat mauquf lebih shohih dari pada riwayat marfu'. sebab letak perbedaan pendapat ulama terletak pada riwayat mauquf dan marfu', mana yang lebih shohih. dan Daruquthniy, Imam ahli 'ilal (sebelum Ibnu Sholah) juga merojihkan riwayat mauquf. 

54. Siapakah yang pertama kali meng-istilahkan hadits hasan? apakah At-tirmidzi, atau gurunya yaitu Bukhori, atau gurunya Ibnu Madiniy?
adapun perkataan Imam Ahmad : 
(إذا كان من الحلال والحرام شددنا, وفي غير ذلك تساهلنا)
dari perkataan ini tidak difahami jika Imam Ahmad membagi hadits menjadi hadits hasan, akan tetapi beliau memasukkan hasan kedalam bagina hadits shohih. perkataannya إذا كان من الحلال والحرام شددنا maka harus hadits yang pada derajat pertama (shohih), dan perkataannya وفي غير ذلك تساهلنا bukan berarti hadits dhoif, meskipun pada fadhoil 'amal, sebab mengandung 'istihbab', dan istihbab tidak bisa dengan hadits dhoif. dari sini seakan-akan yang Imam Ahmad inginkan adalah hadits diantara shohih dan dhoif. 

akan tetapi yang dimaksud oleh Imam Ahmad dan lainnya apakah hasan dari sisi matannya, maknanya, atau isnadnya. dan ini yang dipersilihkan ahli ilmi. adapun secara lafadz mereka tidak mengatakan hadits hasan, atau membagi hadits menjadi shohih, hasan, dan dhoif.

55. Pendapat ulama masalah ahli hadits yang pertama kali menyebut istilah hasan :
a) Ali Al-Madiniy, Bukhori, Tirmidzi.
b) Tirmidzi.

56. Sumber hadits hasan adalah Sunan Abi Daud. kitab yang luar biasa didalam pengumpuah hadits-hadits Nabi, bahkan beliau adalah ulama yang pertama kali mengklaim bawah dirinya telah merangkum semua hadits Nabi. sebagaimana penyataannya kepada ahli makkah ketika mereka meminta Abu Daud untuk menjelaskan manhaj kitab sunannya tersebut.

57. Imam Abi Daud telah menghabiskan waktunya selama 20 tahun didalam menyusun/mengarang kitab sunannya. dan Beliau berkata; jika pada seseorang mempunyai Al-qur'an dan memiliki kitab sunannya ini, maka dia tidak perlu dengan ilmu yang lain.
bahkan beliau sampai berkata; jika ada hadits ditemukan dan tidak tercantum dalam sunannya maka hadits tersebut dikatakan lemah.

58. Riwayat yang masyhur yang sampai kepada kita saat ini adalah :
a) riwayat Abu 'Ali Al-lu'lui dibelahan timur
b) riwayat Ibnu Dasah dibagian barat, dan riwayatya terdapat tambahan yang tidak ada didalam riwayat Abu 'Ali al-lu'lui.

59. Macam-macam hadits didalam sunan Abi Daud.
a) lebih kurang setengah dari isi kitab diriwayatkan didalam shohih Bukhori dan Muslim (akan tetapi bukan dari syeikhnya Bukhori Muslim, melainkan riwayat dari syeikh syeikhnya Bukhori muslim)
b) selebihnya ada yang diriwayatkan di shohih Bukhori
c) diriwayatkan di shohih Muslim
d) diterima oleh ahli 'ilmi dan menshohihkan haditsnya
e) terdapat dhoif yang ringan (yasiiru ad-dho'fi) dan bisa dikuatkan jika ada riwayat dari jalur lain yang mendukungnya.
f) syadidu ad-dho'f (parah dhoifnya) dan disini letak perbedaan pendapat ulama, yaitu apakah setiap hadits yang memiliki dhoif yang parah semuanya telah dijelaskan Imam Tirmidzi?

60. Yang benar menurut ahli 'ilmi adalah tidak sebuat hadits yang didiamkan atau tidak dijelaskan derajatnya dikatakan shohih menurut ahli hadits yang lain (laa khilaafa fiihi), bahkan termasuk menurut beliau sendiri, sebab ketika Al-Ajurri menanyakan derajat rowi yang 'sakata 'anhu Abu Daud' (tidak diterangkan keadaan hadits tersebut) Abu Daud mendho'ifkannya dengan syadidu ad-dho'fi.

menurut syeikh, kemungkinan pada saat itu (penyusunan sunannya) beliau belum menemukan kedhoifan haditsnya.

61. Beliau juga mengklaim bahwa didalam kitabnya tidak ada rowi matruk, akan tetapi setelah diteliti oleh ahli ilmi yang lain ternyata ditemukan rowi yang matruk.

atau yang dimaksud rowi matruk bagi Abu Daud adalah rowi yang mukhtalith (terjadi kekacauan pada hafalannya) yang mana sebelumnya adalah tsiqoh akan tetapi beliau tnggalkan setelah terjadi ikhtilath, seperti Laits bin Sulaim.
_________________
Madinah Nabawiyah, 12/04/1435 H.
ket. faidah ini kami ambil dari dars syarh kitab ma'rifatu 'uluumi al-hadits, karya Imam Ibnu Katsir, oleh Syeikh Muhammad Dhiyaau Ar-Rohman al-a'dzomiy-hafidzohullah. Pengajar Mesjid Nabawi, pernah menjabat sebagai 'amid kuliyah hadits UIM.

0 comments:

Post a Comment