Syarh Ikhtishor 'Ulumi Al-Hadits (bag.2)

25. Di dalam Shohihnya, terkadang Imam Bukhori menggunakan lafadz : qoola lanaa fulaan (قال لنا فلان) atau qoola lii fulaan (قال لي فلان) atau zaadanii fulaan (زادني فلان),
pertanyaannya, mengapa beliau menggunakan lafadz-lafafz tersebut dan meninggalkan lafadz akhbarona, haddatsana, anbaana. Apakah lafadz tersebut termasuk musnad (bersambung sanadnya) atau mu'allaq (terputus sanadnya) Jawabannya :
1. Ibnu Hajar mengatakan bahwa lafdaz-lafadz seperti itu termasuk ke dalam ta'liqot (تعليقات), sehingga hadits-hadits tersebut beliau cantumkan ke dalam kitabnya taghliqu at-ta'liiq, yang berisi ta'liqot Imam Bukhori di dalam shohihnya.
2. Ibnu sholah (dan Syeikh Al-A'dzomiy) mengatakan bahwa bagi seorang rowi terserah dan bebas untuk menggunakan lafadz apa saja yang dianggapnya sesuai, dan tidak mengharuskan beliau untuk menggunakan lafadz-lafadz tertentu.
lantas bagaimana kita menyebut atau mengatakan lafadz qoola lanaa fulaan (قال لنا فلان) atau qoola lii fulaan (قال لي فلان) atau zaadanii fulaan (زادني فلان) ketika men-takhrij hadits tersebut?
jawabannya kembali ke pendapat tadi :
1. jika kita mengikuti pendapat Ibnu Hajar, maka kita katakan DIRIWAYATKAN BUKHORI SECARA MU'ALLAQ (ذكره البخاري معلقا).
2. jika kita mengikuti pendapat Ibnu Sholah, maka kita katakan DIRIWAYATKAN OLEH BUKHORI (أخرجه البخاري)
26. Di fathu al-bari setiap kali Bukhori berkata qola fulaan Ibnu Hajar menulis washolahu fulaan, kenapa Ibnu Hajar berkata begitu? karena beliau berpendapat bahwa hadits tersebut mu’allaq, jika bukan demikian beliau tidak akan berkata seperti itu.
27. Sehingga Ibnu Hazm mendhoifkan hadits Hisyam bin ‘Ammar tentang larangan musik, dan berpendapat bahwa selama tidak mengundang syahwat boleh mendengar musik. karena Imam Bukhori menggunakan lafadz Qola Hisyam bin 'Ammar, bukan Haddatsana, dan ini termasuk hadits yang dhoif didalam shohih Bukhori karena diriwayatkan secara mu'allaq.
28. Pendapat Ibnu Hazm ini dibantah oleh Ibnu Sholah, apakah hadits dengan lafadz qola Hisyam bin 'Ammar termasuk syarat Bukhori atau bukan, jika dikatakan Mu’allaq, maka bukan termasuk syarat Bukhori. Jika dikatakan bukan mu’allaq maka tidak masalah. dan inilah sumber perbedaan pendapat antara yang membolehkan musik dan mengharamkannya.
Ibnu Sholah membantahnya dengan mengatakan : tidak, hadits tersebut adalah hadits yang tsabit, shohih, dan bersambung sanadnya, meskipun di kitab hadits yang lain (seperti di musnad Ahmad, sunan Abu Daud, dll), sebagaimana yang disebutkan Ibnu Katsir.
29. Hadits-hadits shohih (paling tidak yang ada di shohih Bukhori dan Muslim) yang telah diterima oleh kaum muslimin, apakah mengandung kepastian atau tidak? dengan kata lain, apakah mengandung ilmu yaqin atau hanya sebatas prasangka yang bisa jadi benar atau salah?
sebelum menjawab pertanyaan tersebut, harus kita pahami terlebih dahulu bahwasanya pertanyaan seperti diatas pertama kali muncul setelah buku-buku yunani, ilmu filsafat, dan mantiq diterjemahkan kedalam bahasa arab, dan sangat disayangkan, ilmu tersebut diterapkan oleh sebagian ulama islam (seperti ahli ushul) ke dalam ilmu syar'i.
dimana mereka membagi ilmu (pengetahuan) menjadi 2 :
1- 'Ilmun Yaqiniy atau badihiy (علم يقيني أو بديهي) yaitu ilmu yang tidak membutuhkan dalil untuk mengetahuinya, seperti jika matahari terbit maka terjadi siang, dan ini dapat diketahui semua orang tanpa dalil.
2- 'Ilmun Dzonniy (علم ظني) yaitu ilmu yang tidak dapat diketahui kecuali oleh orag-orang yang benar-benar berkompeten dibidangnya masing-masing, ada kemungkinan benar atau salah. seperti ahli atau pakar kelautan yang mengatakan bahwa kedalaman samudra pasifik sama dengan kesian, dan ini belum tentu benar dan belum tentu salah.
Maka kita sebagai orang islam pada hakikatnya tidak membutuhkan ilmu semacam ini. jika ada hadits yang tsabit shohih dari Nabi shallallahu'alaihi wasallam, maka mengandung ilmu pasti dan bukan dzon (sangkaan).
Kita tidak menyembah Allah dengan Dzon, ketika Rosulullah memerintahkan "sholatlah kalian sebagaimana aku sholat", apakah kita harus sholat seperti Nabi atau tidak? apakah ini dzonni? atau ilmu yaqin? na'am ilmu yaqin. begitu juga jika ada hadits shohih memerintahkan untuk berpuasa, zakat, haji, dan lain sebagainya semuannya mengandung kebenaran yang pasti, tidak ada istilah ilmu dzon.
maka dari sini kita dapat menjawab bahwa hadits yang shohih tsabit (baik yang mutawatir maupun ahad) mengandung ilmu yaqin, pasti kebenarannya, tidak ada kemungkinan-kemungkinan yang lain dan wajib diamalkan. adapun jika haditsnya tidak shohih maka disini letak keraguan tersebut.
30. Syeikh Al-A'dzomiy bercerita bahwa ada seorang yang menganut faham seperti ini bertanya kepada syeikh, lalu beliau menjawab : “Bagaimana anda hidup sebagai orang islam jika beranggapan bahwa semua hadits bersifat tidak pasti (dzonni)..?”
lalu syeikh memberikan trik untuk menghadapi orang-orang yang mengatakan bahwa Al-qur'an bersifat yaqini (pasti benar) sedangkan as-sunnah dzonni (belum tentu benar), kita katakan padanya, apakah anda beribadah dengan dzon? apakan anda beribadah dan meninggalkannya sesuai dengan yang anda inginkan?
31. Ulama yang pertama kali membantah penganut faham ilmu tersebut (pembagian ilmu menjadi yaqini dan dzonni) adalah Imam Syafi’i-rohimahullah. yang tercantum di dalam kitab beliau Ar-Risalah.
Di dalam kitab tersebut Imam syafi'i berhujjah dengan hadits Nabi shallallahu'alaihi wasallam
(لا يجمع بين المرأة وعمتها ، ولا بين المرأة وخالتها) dan ini termasuk hadits ahad (riwayat yang shohih hanya dari Abu Huroiroh menurut Imam Syafi’i, akan tetapi menurut syeikh pendapat ini -fihi nadzor- karena selain Abu Huroiroh juga ada rowi lain yang meriwayatkannya akan tetapi tidak sampai pada derajat mutawatir),
lantas apakah ada satu orang ulama saja yang ada didunia ini yang menolak kandungan isi hadits ini (haramnya menikahi seorang wanita dengan bibinya baik dari bapak atau ibu secara bersamaan), jika memang benar hadits ahad itu mengandung dzon? kita katakan tidak ada (kecuali syiah, dan pendapat mereka asalnya tidak dapat diterima)
Yang menunjukkan bahwa hadits ahad ini diterima adalah karena sesuai dengan apa yang terdapat didalam al-qur'an (وأحل لكم ما وراء ذلكم).
dan begitu pula dengan perkara-perkara yang lain seperti aqidah, ibadah, hukum, mu'amalah, dan sebagainya yang mana sumber hukum yang ada kebanyakan berasal dari khobar ahad, nah jika ilmu dari yunani itu diterapkan dalam islam maka betapa banyak hukum-hukum yang kita tinggalkan.
32. Hadits-hadits yang sampai kepada kita sebagian besarnya adalah hadits ahad (yang diriwayatkan oleh, 1, 2 atau 3 orang rowi) dan sebagian kecilnya adalah mutawatir. dan dari dulu sejak zaman Rosulullah shallallahu'alahi wasallam, para sahabatnya, para tabi'in, dan generasi selanjutnya semuanya mengamalkan hadits ahad.
wallahu A’lam..
semoga bermanfaat..
bersambung insyaAllah.
___________________
Kamis,05/04/1435 H
faidah ini kami ambil dari syarh kitab ma'rifatu 'ulumi al-hadits karya Imam Ibnu Katsir, oleh Syeikh Muhammad dhiyaau ar-rohman al-a'dzomiy-hafidhohullah-
Kamis,05/04/1435 H
faidah ini kami ambil dari syarh kitab ma'rifatu 'ulumi al-hadits karya Imam Ibnu Katsir, oleh Syeikh Muhammad dhiyaau ar-rohman al-a'dzomiy-hafidhohullah-
Tweet
0 comments:
Post a Comment