KIAT SINGKAT MEN-TAKHRIJ HADITS
Tarkhrij merupakan salah satu disiplin ilmu
yang luas, tetapi mungkin untuk dipersempit menjadi dua perkara yang penting.
Yang pertama, hendaknya seorang yang ingin
mentakhrij hadits menetukan apa yang ingin ditakhrij, apakah ingin mentakhrij
matan hadits atau isnadnya, atau ingin mentakhrij hadits sahabat tertentu dari
kitab tertentu, maka dari sini terdapat perbedaan dalam metode pertama dengan
yang kedua.
Jika kita ingin mentakhrij matan hadits, maka
tidak mesti menyebutkan sahabat, tidak pula yang meriwayatkan hadits
tersebut. Sebagaimana takhrij hadits yang terdapat di dalam kitab-kitab
fiqh, namun terkadang juga disebutkan. Jika keadaannya seperti ini pertama kali
yang harus dilakukan adalah menghitung matan tersebut, berapa jumlah sahabat
yang meriwayatkannya, kemudian mentakhrij matan tersebut dari masing-masing
sahabat, sebagaimana yang dilakukan oleh Az-Zaila'i rohimahullah di dalam
kitabnya nashbu ar-rooyah yaitu mengambil hadits-hadits dari
kitab fiqh, lalu menentukan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh fulan dan
fulan dari sahabat, kemudian mentakhrij hadits dari setiap sahabat, menjelaskan
siapa yang meriwayatkannya, dan menerangkan derajat haditsnya.
Yang kedua, jika yang diinginkan adalah
mentakhrij hadits dari sahabat tertentu dari kitab tertentu pula, seperti
hadits Abu Daud, hadits Tirmidzi, hadits musnad imam Ahmad, hadits Daroquthni,
dan lain sebagainya, maka dalam keadaan seperti ini tidak lepas dari dua
perkara dan tidak ada yang ketiga :
1) Iltiqouu
al-asaaniid, yaitu mengumpulkan semua isnad yang ada di dalam kitab
tersebut dengan satu orang rowi, siapa yang paling banyak meriwayatkan. seperti
Az-zuhri, Malik, Sa'id bin al-musayyib, kumpulkan semua jalurnya pada rowi yang
paling banyak meriwayatkan tersebut, seperti A'masy, dan lain sebagainya, ini
dilakukan jika di dalam isnadnya dan matan tidak terdapat ziyadah [tambahan lafadz
hadits] nuqshon [lafadz hadits yang
kurang] dan mukholafah,
[menyelisihi hadits lain] dan metode seperti ini hanya untuk matan yang sepakat
dengan satu lafadz hadits dan didalam isnadnya tidak terdapat 'illah, maka tidak ada cara
lain kecuali seperti ini. dan barang siapa yang menyelisihi cara seperti ini
maka dia telah keliru dan keluar dari metode yang ma'ruf dari ulama yang
berkecimpung dalam bidang ini.
2) Athroofu
Al-Asaaniid, cara seperti ini
membutuhkan kesungguhan, keuletan, pengamatan isnad, kenapa demikian? sebab
cara seperti ini diterapkan pada hadits yang terdapat 'illah di dalam
isnadnya dan tambahan lafadz di matannya. Maka dalam dua keadaan seperti ini
kembali ke athrof isnad yaitu menyebutkan siapa rowi yang
meriwayatkan secara mursal, siapa saja yang meriwayatkan secara maushul,
munqothi', siapa saja yang menambah lafadz hadits, yang mengurangi, lalu
meneliti [dirosah haditsiyah] semua riwayat yang ada dan nanti akan
menghasilkan derajat hadits tersebut, apakah shohih atau dhoif.
Akan tetapi jika takhrij tersebut tidak ada
faidah ilmiyah, seperti perkataan bahwa hadits ini diriwayatkan zuhri dari lima
jalur, lalu menyebutkan siapa saja yang meriwayatkannya, akan tetapi tidak
menjelaskan dari lima riwayat tadi, siapa saja yang menambah dan siapa yang
mengurangi, dan apa 'illah yang ada di isnad, 'illah dimatan, maka perkataan tersebut
sia-sia, hanya menambah tebal kitab saja tanpa ada faidah ilmiyah.
Seharusnya jika rowi mukhtalith, maka dicari siapa
saja yang meriwayatkan hadits darinya sebelum ikhthilat dan yang sesudahnya. Begitu juga
mudallis, jika didalam isnad terdapat mudallis, dan kita mempunyai athrof isnad, maka
lihatlah siapa saja yang meriwayatkan dengan 'an'anah dan siapa yang meriwayatkan dengan
cara mendengar secara langsung. Jadi jika didalam isnad terdapat 'illah, atau didamlam matan
terdapat ziyadah atau nuqshon maka kembalikan pada athrof hadits,
setelah dirosah maka akan muncul hasilnya, shohih atau tidak, dan inilah tujuan
dari takhrij.
Dan menghukumi suatu hadits itu tidak mesti
dari lima riwayat, akan tetapi bisa juga dengan satu isnad, sebagaimana yang
diterapkan oleh ashhaabu
kutubi ash-shihhah, Imam Bukhori misalnya, menyebutkan hadits shohihnya
dengan satu isnad kemudian menyebutkan riwayat-riwayat mutaba'ah, sebab jika
sebuah hadits dapat dihukumi shohihnya maka tidak butuh riwayat yang lain.
sebab tidak ada faidahnya menyebutkan banyak isnad jika tidak dijelaskan
'illahnya, tambahan lafadz atau kekurangannya.
Wallahu A’lam.
___________
24-04-1435 H
catatan ini kami nukil dari Syeikh
Prof.Dr.Muhammad Dhiyaau Ar-Rohman Al-A'dzomi-hafidzohullah- ketika mensyarah
Ikhtishor 'Ulumi Al-Hadits, secara singkat dan untuk lebih jelasnya beliau
menyarankan membaca kitabnya Mu'jam Mustholah Hadits.
Tweet

0 comments:
Post a Comment