Manhaj Imam Al-Baghowi didalam Kitabnya Al-Mashobih dan Syarhu As-Sunnah
Syarh Ulumi Al-Hadits bag.5
101. Kitab Al-Mashobih,
atau Mashobihu
As-Sunnah karya Imam Baghowi merupakan salah satu karya yang masyhur
pada abad ke-6 hijriyah. Nama beliau adalah Muhyissunnah Abu Muhammad Al-Husein
bin Mas’ud bin Muhammad Al-Farroo’ Al-Baghowi (516 H) salah satu karya di dalam
pembendaharaan kitab-kitab sunnah. Beliau dijuluki dengan Muhyissunnah sebab menghidupkan sunnah-sunah
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di zamannya.
102. Salah satu perkara ghorib (lain dari yang lain) yang ada di
dalam kitabnya ini adalah manhaj atau metode penyusunan yang belum
pernah diterapkan oleh ulama-ulama sebelumnya, tidak juga ulama yang datang
setelahnya, artinya tidak ada seorangpun yang mengikuti metode penyusunan
kitabnya tersebut.
103. Metode penulisan kitab Mashobihu As-sunnah adalah sebagai berikut :
a) Beliau sama sekali tidak mencantumkan isnad
hadits secara keseluruhan, dan ini perkara yang tidak dikenal sebelum
zaman Baghowi, sebab saat itu masih dalam masa periwayatan hadits, sehingga
ketika mengarang kitab mereka mencantumkan sanadnya, dan ini tidak dilakukan
oleh Imam Baghowi.
b) Tidak pula menulis mashodirnya (misalnya,
diriwayatkan oleh Bukhori, atau Muslim atau yang lainnya).
c) Terkadang beliau menghapus nama Sahabat
yang meriwayatkan hadits tersebut.
d) Membagi hadits menjadi dua; jika haditsnya
terdapat di shohih Bukhori dan Muslim maka haditsnya shohih, dan jika haditsnya
terdapat di kitab-kitab sunan (seperti sunan Abu Daud, sunan Tirmidzi, dan yang
lain) maka haditsnya hasan. Perkara ini juga tidak pernah dilakukan oleh ulama
sebelumnya.
Oleh sebab itu ulama yang datang setelah Imam
Baghowi seperti Ibnu Sholah, An-Nawawi, Ibnu Hjar, dan yang lainnya tidak
sepakat dengan istilah atau pembagian tersebut, kenapa? Sebab tidak semua
hadits di dalam kutub Sunan semuanya hadits Hasan, akan tetapi ada yang shohih,
ada pula yang hasah. Lantas mengapa Imam Baghowi hanya mengatakan hadits-hadits
yang ada di kutub sunan adalah hadits hasan. Bukankah sebagian hadits yang ada
di sunan Abu Daud terdapat di kitab Shohihain, ini kritikan yang pertama. Yang
kedua adalah, tidak semua hadits yang ada dikutub sunan hasan, melainkan ada
yang dhoif, munkar, syudzudz,
dan maudhu’.
103. Meskipun demikian, Allah mentaqdirkan
kitabnya tersebut diterima dan dijadikan rujukan oleh ulama pada umumnya,
banyak dari ahli hadits yang mensyarh kitab ini, dan menta’liq sesuai dengan
kemampuan mereka. Terbukti dengan adanya 20 kitab lebih yang dita’lif dari
kitabnya tersebut.
Misalnya adalah Al-Khotib At-Tibriziy (737 H)
yang berkhidmat untuk kitab Mashobihu As-Sunnah dengan mengembalikan makhroj atau sumber hadits yang tidak
dicantumkan oleh Imam Baghowi. Jika haditsnya dari Imam Bukhori beliau
mengatakan : “diriwayatkan oleh Bukhori”, dan yang seterusnya. Selain itu
beliau juga menambah bab tiga, selaras dengan bab yang terlewatkan oleh
Baghowi. Kemudian tambahan dari Tibriziy inilah yang kemudian disebut dengan
kitab Misykaatu Al-Mashoobiih.
Dan kitab ini menjadi salah satu rujukan oleh ulama kaum muslimin baik yang
berada di timur maupun barat.
Syarh yang paling masyhur dari kitab ini
adalah karya Al-Mulla ‘Ali Al-Qooriy (1014 H) yang diberi judul Mirqootu Al-Mashoobiih. Dan yang terakhir disyarh oleh
Syeikh ‘Ubaidullah Ar-Rohman dengan judul Mir’aatu Al-Mafaatiih Syarh
Misykaatil Mashoobiih, namun Beliau-rohimahullah- meninggal dunia terlebih
dahulu sebelum menyelesaikan syarhnya.
104. Imam Baghowi mengklaim jika beliau tidak
menyebutkan hadits maudhu’ atau munkar di dalam kitabnya. Dan klaim ini benar
adanya, akan tetapi sebagian ahli ilmi menyebutkan bahwa didalam kitab Baghowi
tersebut terdapat hadits maudhu’ dan ini dibantah oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di
dalam risalahnya dan mengatakan bahwa hadits tersebut tidak termasuk maudhu’,
namun ada yang hasan dan ada pula yang dhoif, dan inilah yang haq.
105. Selain kitab Mashobihu As-Sunnah, Imam
Baghowi juga mempunyai kitab Syarhu
As-Sunnah yang mana metode
penulisan kitab ini berbeda dengan kitab Mashobih.
a) Di dalam kitab syarhus sunnah, Imam
Baghowi menerapkan metode ahli hadits yaitu dengan cara menulis sanad hadits
sampai ke Rosulillah shallallahu 'alaihi wasallam. selanjutnya beliau
mentakhrij hadits syeikhoin (Bukhori Muslim atau salah satunya) yaitu
meriwayatkan hadits dari syeikh syeikhnya Bukhori atau Muslim tidak langsung
dari syeikhya Bukhori atau Muslim, dan metode seperti ini sudah lumrah
dikalangan ahli hadits baik sebelum masa Imam Baghowi maupun sesudahnya.
b) Selain itu beliau juga mengadopsi metode fiqhu al-haditsnya Imam Malik,
Imam Bukhori,
dan Imam Tirmidzi yang berbeda dengan metode
ahli fiqih.
106. Metode fiqh hadits yang diterapkan oleh
muhaddits (ahli hadits) berbeda dengan metode faqiih (ahli fiqh), meskipun
kedua-duanya sama-sama mencantumkan hadits di dalam kitabnya, akan tetapi ahli
hadits menyebutkan hadits terlebih dahulu setelah itu baru menyimpulkan
permasalahan atau hukum fiqhnya, sebagaimana yang dilakukan Imam Malik di dalam
kitabnya Muwattho' yaitu menyebutkan hadits-hadits musnadah, lalu beristinbat,
dan menyebutkan siapa yang mengataknnya dari ahli fiqh madinah dan yang
lainnya.
Adapun Imam Bukhori memilih fiqhu al-bab,
artinya bab-bab yang beliau tulis merupakan fiqh hadits, sehingga untuk satu
hadits biasanya beliau ulangi lagi peyebutannya di bab yang berbeda. sebab
didalam satu hadits terdapat beberapa masalah fiqh. kemudian datang Imam
Tirmidzi yang setelah menyebutkan hadits, beliau menyebutkan sahabat, tabi'in,
atba'ut tabi'in, fuqoha, dan muhadditsin yang mengatakan hukum yang terdapat di
hadits tersebut.
Nah, metode ahli hadits seperti ini lah yang
kemudian digunakan oleh Imam Baghowi di dalam kitabnya Syarh Sunnah.
107. Perbedaan manhaj ahli hadits dan ahli
fiqh :
a) Fuqohaa' terlebih dahulu meletakkan dasar-dasar
permasalahan fiqh, kemudian mendatangkan dalil baik dari Al-Qur'an dan Sunnah
tanpa menulis isnadnya. lalu datang muhaddits dan mentakhrij hadits-hadits tersebut
dan menemukan sebagian hadits ada yang shohih, dan sebagian yang lain mereka
katakan tidak ada asalnya, sebab diriwayatkan tanpa isnad, dan mereka tidak
mendapatkan hadits tersebut baik secara musnad ataupun tidak.
b) Langkah-langkah ahli fiqh dalam metode
penyusunan kitab, pertama ta'siis (meletakkan pokok permasalahan),
kedua tafrii' (membagi
permasalahan), ketiga istidlal (pen-dalilan),
kemudian men-takhrij hadits.
adapun ahli hadits, mereka mentakhrij hadits
terlebih dahulu, lalu beristinbat atau menarik kesimpulan hukum dari hadits
tersebut dalam masalah fiqh.
Wallahu A’lam
_____________
Kota Nabi-shallallahu 'alahi wasallam,
20-04-1435 H.
catatan-q pada majlis syarh ikhtishor 'ulumi
al-hadits karya Ibnu Katsir, oleh Syeikh Muhammad Dhiyaau Ar-Rohman
Al-A'dzomy-hafidzohullah.
Tweet

0 comments:
Post a Comment