Beberapa Sebab Didho'ifkannya Seorang Rowi
Di dalam nadzumahnya, Al-Hafidz
Al-'Irooqiy rohimahullah menyebutkan beberapa kriteria yang
menyebabkan rowi menjadi dhoif.
1) التساهل في التحمل yaitu
bermudah-mudahan dalam tahammul.
Yang dimaksud dengan at-tahammul adalah
mengambil hadits. Seorang rowi biasanya tidak lepas dari dua posisi;
antara at-tahammul atau al-adaa' (menyampaikan
hadits). Barang siapa yang dhoif dan tasaahul pada
masa-masa tahammulnya, seperti tidur ketika majlis tahdits,
ngobrol dengan temannya, atau sibuk dengan urusan lain maka ini merupakan sebab
di-dhoif-kannya seorang rowi dari syeikhnya. Sebab mendengar hadits harus
benar-benar dalam keadaan siap siaga, menyimak syeikh ketika menyampaikan
hadits untuk membenarkan hadits yang ditulisnya jika meriwayatkan hadits dari
syeikhnya tersebut. Begitu pula jika hadits dibacakan dari syeikh maka dia
harus selalu sigap dan terjaga apabila terdapat kesalahan di
dalam kitabnya jika syeikh dalam posisi membetulkan hadits-hadits yang ia tulis.
2) Selain itu, yang termasuk tasaahul yang
membuat cacat seorang rowi adalah apabila ia meriwayatkan bukan dari ushul atau
pokok riwayatnya (الأداء ليس من الأصل), apa maksudnya? seorang rowi yang
mendengar dari syeikhnya maka ia memiliki kitab, ketika syeikh membacakan
hadits hendaknya rowi tersebut mencocokkan apa yang ada di dalam kitabnya, maka
kitab ini menjadi pegangan pokok bagi murid tersebut. Ketika nanti ia menjadi
syeikh dan membacakan hadits bukan dari kitabnya akan tetapi menggunakan kitab
yang lain bukan dengan kitab aslinya maka ini termasuk bagian tasaahul yang
menjadikan riwayatnya cacat. mengapa demikian? sebab mungkin di dalam kitab
tersebut hadits-haditsnya tidak termaktub di dalam kitab aslinya, atau mungkin
di dalam kitab tersebut terdapat isnad-isnad yang tidak
ditemukan di dalam kitab aslinya, atau mungkin di dalamnya terdapat tambahan,
pengurangan, perubahan, maka dipastikan ia meriwayatkan hadits tidak sesuai
dengan hadits yang ia dapatkan dari syeikhnya. Oleh sebab itu ahli hadits
mensyaratkan bagi seorang rowi untuk meriwayatkan hadits dari kitab aslinya
yang mu'tamad.
3) قبل التلقين yaitu menerima
riwayat hadits yang disampaikan dengan cara talqin, artinya seorang
rowi yang berada dalam majlis samaa' (mendengarkan hadits)
syeikh menyebutkan sebuah hadits, kemudian datang seseorang di dalam majlis
lalu mendekte atau mengabarkan kepada para murid sebuah hadits menggantikan
syeikh tanpa memurojaah ushul hadits tersebut, bukan pula termasuk
orang yang haafidz, lalu rowi ini mengambil hadits dari orang
yang tidak haafidz tersebut dan tidak pula dari pokok kitabnya, maka inilah
yang disebut dengan talqin, dan orang yang menerima hadits dari talqin ini
termasuk sebab didho'ifkannya riwayat rowi tersebut.
4) وصف بالمنكرات كثرة seorang rowi yang
disifati mempunyai banyak riwayat-riwayat munkar. Yang dimaksud dengan hadits
munkar adalah ما خالفه الضعيف لمن هو أوثق منه (seorang rowi
dhoif yang menyelisihi riwayat rowi yang lebih tsiqoh darinya) atau
hadits-hadits yang hanya diriwayatkan oleh rowi-rowi dhoif dan terdapat nakaroh didalam
matan atau isi haditsnya. Apabila seorang rowi banyak meriwayatkan hadits
semacam ini yang diselisihi oleh rowi lain, dan menyendiri dalam
perkara-perkara yang nakaroh maka ini juga termasuk penyebab
didhoifkannya rowi tersebut. Karena ini menunjukkan ketidak hatiannya.
Sekiranya ia adalah seorang rowi yang berhati-hati dalam hal periwayatan
niscaya tidak akan banyak meriwayatkan dari rowi-rowi yang dhoif. Dan ahli
hadits sangat memperhatikan rowi yang berhati-hati dalam mengambil hadits,
apakah ia temasuk ahli dhobt dan itqon, mereka
mengetahui kadar kesanggupan dan kedudukannya. Namun jika seorang rowi
meriwayatkan apa saja hadits yang ia dapatkan maka ini menunjukkan bahwa ia
bukan termasuk rowi yang berhati-hati dalam memilah-milih hadits, maka ia
didhoifkan karena sebab ini. Terlebih-lebih jika hadist-hadits munkar ini tidak
diketahui muttaham kecuali dari rowi tersebut, misalnya dia
meriwayatkan hadits munkar dengan isnad dari Malik, dari Naafi' dari Umar-rodhiallahu'anhu-,
sebagian rowi yang ditemukan dalam Miizaan Al-'itidaal tidak
di-jarh dan tidak di-ta'dil, akan tetapi ia mennyendiri
meriwayatkan hadits yang tampaknya shohih tidak diriwayatkan oleh tsiqoh, dan
Adz-Dzahabi berkata : "al-aafatu fulaan," ini adalah
rowi yang tidak di-jarh dan tidak pula di-ta'diil, sebab ia
menyendiri dalam isnad yang shohih dengan matan yang munkar, maka dia
didhoifkan karena sebab ini.
5) وما عرف بكثرة السهو و ما حدث من أصل صحيح dikenal
dengan sering lupa, lalai, dan salah dalam periwayatan maka ini termasuk sebab
yang menjadikan ia dhoif. Rowi yang dikenal dengan banyaknya melakukan
kesalahan, lupa atau lalai dan tidak meriwayatkan dari kitab aslinya, melainkan
hanya mengandalkan hafalannya, maka ia adalah rowi yang dhoif. Adapun jika
bersandar pada apa yang ada di dalam kitabnya meskipun dari orang yang sering
lupa, salah, atau lalai dari sisi hafalan maka keadaan seperti ini tidak
membuat riwayatnya cacat, inilah yang dimaksud dengan وما حدث من
أصل صحيح dan ini adalah pengikat bagi rowi yang banyak lupa,
yang mana ia tidak didhoifkan kecuali tidak bersandar pada kitabnya, jika
bersandar dengan kitabnya maka riwayatnya shohih.
Rowi yang banyak melakukan kesalahan dan lupa
jika dijelaskan kesalahannya akan tetapi tidak mau ruju' dari kesalahannya maka
posisinya tidak disebut dhoif lagi melainkan disebut matruk, artinya kita tidak
menghukumi dengan dhoif saja melainkan ditinggalkan haditsnya. Imam Ahmad,
Humaidi (Abdullah bin Zubeir-muridnya imam syafi'i-rohimahullah) dan Ibnu
mubarok berpendapat bahwa rowi yang mempunyai sifat seperti itu maka haditsnya
ditolak semuanya.
Sedangkan Ibnu Sholah mengatakan bahwa
pendapat diatas (imam Ahmad, Al-Humaidi, dan Ibnu Mubarok) tidak serta merta
benar, melainkan ada perincian tersendiri :
a) apabila sebab tidak ruju'nya ia dari
kesalahan karena takabbur maka riwayatnya matruk.
b) adapun jika disebabkan keyakinan atau
kepastiannya, misalnya : "aku yakin sekali bahwa beginilah hadits
yang pernah aku dengar." maka orang yang menyalahkanlah yang
salah, dalam keadaan seperti ini riwayatnya tidak tingalkan.
sebab pada rowi tersebut terdapat
tambahan itqon, dan ihtiyath (kehati-hatian)
serta kekuatan hafalan maka riwayatnya bisa dijadikan syahid bukan
malah dihukumi matruk. Akan tetapi dengan syarat bahwa ia adalah
rowi yang terkenal kuat hafalan dan mutqinnya, dan tidak ada maksud untuk
takabbur.
Salah satu pendapat yang mendukung ditolaknya
hadits rowi yang telah mengetahui letak kesalahannya, namun tetap bersikeras
dengan pendiriannya. Adalah Ibnu Mahdi ketika bertanya kepada Syu'bah : "siap
rowi yang ditinggalkan riwayatnya?" ia menjawab : لم يتهم نفسه
عإذا تناد في غلط مجتمع عليه ولى اجتماعهم عند خلافه maka
terhatikanlah ketelitian ahli hadits, perkataan atau ungkapan Syu'bah ini
sangat teliti sekali, beliau menjawab : تناد في غلط إذا (apabila
rowi tersebut bersikeras dengan kesalahannya) kesalahan seperti apa??? مجتمع عليه yaitu kesalahan
yang telah disepakati, yaitu sejumlah rowi meriwayatkan hadits dari satu
sisi, dan rowi ini meriwayatkan disisi lain. Lalu dijelaskan kepadanya bahwa
hadits yang diriwayatnya salah, dan sejumlah rowi tadi bersepakat menyelisihi
hadits rowi ini, maka ia menyendiri dan menyelisihi ijma'. Jadi permasalahannya
bukan hanya dari tiga orang rowi yang menyelisihi lalu riwayat rowi ini
ditinggalkan, akan tetapi ijma' semua rowi sepakat menyelisihi riwayatnya dan
ia bersikukuh dengan kesalahannya, maka kondisi seperti ini haditsnya
ditinggalkan.
Ibnu Hibban juga berkata : إن بين له
خطأه وعلم فلم يرجع عنه وتماد في ذلك كان كذابا
Artinya : “jika rowi tersebut telah
dijelaskan kesalahannya dan ia mengetahuinya, namun tidak ruju' dari
kesalahannya dan bersikeras terhadapnya maka ia adalah seorang pendusta.”
Wallahu'alam..
semoga bermanfaat..
laa tansa min sholaahi du'aaikum...
___________________
Madinah Nabawiyah,11051435 H.
syarh alfiyah 'iroqi, Syeikh Dr.Abdul Baari
bin Hammad al-Anshoriy hafidzohullah.
Tweet

0 comments:
Post a Comment