Hukum Mengambil Upah dari Mengajarkan Hadits
Mengajarkan atau menyampaikan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah salah satu bentuk pengagungan
kita terhadap Sunnah yang mulia. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘ash rodhiallahu’anhuma Ia berkata, aku telah mendengar
Rosulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
بَلِّغُوا
عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku meski satu ayat.” (H.R.Bukhori)
Sahabat mulia Abu Dzar rodhiallahu ‘anhu pernah berkata :
“Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan kami untuk tidak luput dari tiga perkara : Mengajak kepada yang
ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan mengajarkan
manusia sunnah.”
Mengajarkan sunnah atau menyampaikan hadits
juga termasuk ibadah guna mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, dan setiap
ibadah tentu saja disyaratkan niat yang ikhlas.
Barang siapa yang meminta 'iwadh (balas jasa/upah) maka akan menjadikan niatnya cacat.
Inilah yang akan menjadi pembahasan kita kali ini, bagaimana hukumnya mengambil
upah ketika mengajarkan hadits bagi seorang ahli hadits?
Misalnya ia mengatakan : "aku tidak akan
mengajarkan hadits atau riwayatku, sampai kalian membayarku sekian..."
Thoyyib,
siapa ahli hadits yang mempunyai syarat seperti itu? apakah haditsnya diterima
atau tidak?
Apakah sama dengan orang yang mengatakan : "aku tidak akan
mengajarkan kalian al-Qur'an atau menjadi imam kecuali kalian bayar
sekian." ?
Adapun seseorang yang diminta untuk mengajar di
sebuah instansi, lalu diberi gaji oleh pimpinannnya maka ini bukan termasuk
dalam pembahasan kita. Yang menjadi masalahnya adalah meminta upah atau timbal
balik, sebab didalamnya mengandung unsur jual beli diantara kedua belah pihak
yang mana salah satu dari mereka mengambil manfaat dari yang lain.
Sebagian ahli ilmu (ulama) bersikap mutasaahil (longgar) dan
membolehkan mengambil upah dalam mengajarkan al-Qur'an, adapun dalam
mengajarkan hadits mereka mutasyaddid. Yang menjadi salah satu penyebabnya adalah kebutuhan seseorang untuk
mempelajari al-Qur'an yang akan dibaca waktu sholat dan lain sebagainya.
Berbeda dengan mengajarkan hadits, jika ada
seseorang yang melarang mengambil upah darinya, akan didapati orang lain yang
membolehkannya, sebab kebutuhan terhadap Hadits lebih sedikit jika
dibandingkan dengan kebutuhan terhadap Al-Qur'an.
Pendapat yang pertama, boleh mengambil upah
ketika tahdiits (menyampaikan/mengajarkan hadits) dan ini
pernah dilakukan oleh sebagian ahli hadits seperti Abu Nu'aim Al-Fadhl bin
Dukain, Ali bin 'Abdil 'Aziz Al-Baghowiy dan muhaddits lainnya. Pendapat
ini berhujjah dengan menqiyaskan dalil jumhur yang membolehkan mengambil upah dari
mengajar Al-Qur’an sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alahi wasallam :
إن أحق
ما أخذتم عليه أجرًا كتاب الله
“sesungguhnya (mengajarkan) kitabullah adalah
yang paling berhaq kalian ambil upahnya .”
Pendapat kedua, melarang untuk mengambil upah,
juga tidak menerima dan menulis haditsnya. Ini adalah pendapat Ishaq bin
Rohuyeh, Abu Hatim Ar-Roziy, Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka mengatakan bahwa
mengambil upah dari mengajarkan hadits termasuk yang menjadikan ‘adalah seorang rowi
cacat, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafidz Al-'Iroqi berkata يخرم من مروءة الإنسان mengambil
upah dari mengajarkan hadits dapat merusak wibawa seorang rowi (khowarim muruah).
Syu’bah berkata : لا
تكتبوا عن الفقراء شيئًا، فإنهم يكذبون لكم “Janganlah kalian menulis apapun dari orang-orang faqir, karena
mereka akan menipu kalian.”
Selain itu juga akan menjadikan manusia berburuk sangka kepadanya, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Khotib Al-Baghdadiy :
إنما
منعوا من ذلك تنزيها للراوى عن سوء الظن به؛ لأن بعض من كان يأخذ الأجر على
الرواية عثر على تزيده وادعائه ما لم يسمع لأجل ما كان يعطى
“yang menjadikan ianya dilarang ialah agar rowi terlepas dari
sangkaan yang buruk terhadapnya, sebab sebagian orang yang mengambil upah dari
menyampaikan riwayat yang ditambah-tambah dan pengklaimannya padahal ia
tidak pernah mendengarnya karena ingin diupah.”
Sedangkan pendapat yang ketiga terdapat
perincian, jika ahli hadits tersebut ketika mengajarkan hadits akan meninggalkan
pekerjaan yan merupakan sumber satu-satunya untuk menafkahi keluarganya, maka
keadaan seperti ini ia dibolehkan mengambil upah dari tahdiits.
Namun jika mengajarkan hadits tidak menyibukkannya dan ia masih mempunyai sumber pendapatan yang lain maka ia tidak diperbolehkan mengambil upah tersebut. Dan ini adalah fatwa Syeikh Abu Ishaq As-Syirozi, syeikh syafi'iyah dizamannya.
Ash-Shon’aaniy berkata : فهذا مع العذر، وأما مع عدمه فتقدم من منع ذلك “maka yang seperti ini karena adanya ‘udzur,
adapun jika tanpa udzur maka telah dijelaskan sebelumnya akan larangannya.”
Dalam hal ini pernah diceritakan dari Imam
Al-Baghowiy dan ia adalah salah satu muhaddits yang pada saat itu berada di
Mekah, maka orang-orang mencelanya karena telah mengambil upah dari mengajarkan
hadits, lalu ia berkata : "kami penduduk Mekah, jika jamaah haji keluar dari Mekah, Abu
Qubais dan Qoiqo'an (dua gunung yang menghimpit ka'bah) ketika musim haji kami
akan mendapatkan kesempitan atau kesulitan dalam mencari nafkah, oleh sebab itu
kami mengambil upah dari mengajarkan hadits.”
Abu Nu’aim bin Dukain berkata : “Orang-orang mencelaku
karena mengambil upah, sedangkan di dalam rumahku ada tiga belas orang, dan
tidak ada sepotong adonan rotipun dirumahku.”
Selain mereka berdua, ‘Affan bin Muslim yang
merupakan salah satu Haafidz yang tsabt dari gurunya Imam Bukhoriy juga mengambil upah mengajarkan hadits,
meskipun begitu Imam Ahmad tetap saja mensifati beliau dan Abu Nu’aim dengan tatsabbut.
Begitu juga dengan Ya’qub bin Ibrohim Ad-Dauroqiy, seorang yang haafidz, mutqin, yang memiliki Musnad, yang mana Bukhori dan Muslim membutuhkan periwayatannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ahli hadits yang mengambil upah itu disebabkan adanya kebutuhan yang mendesak, jika tidak berbuat demikian mereka akan kesusahan atau kelaparan.
Namun tidak diragukan lagi bahwa tidak
mengambil upah adalah yang lebih utama (afdhol), mengapa? sebab lebih menjaga
keikhlasah hati, terhindar dari khowarim muruuah dan buruk sangka dari manusia. Sebagian orang
alim mengatakan :
علم
مجانا كما علمت مجانا
"mengajarlah tanpa memungut bayaran
sebagaimana engkau tidak dipungut biaya ketika dahulu diajar."
wallahuta'ala 'alam..
_____________________
madinah nabawiyah, 19 Dzulhijjah 1435 H
Hedi Kurniadi bin helmi, Mahasiswa semester 6
fak.Hadits Univ.Islam Madinah
Tweet

0 comments:
Post a Comment