Kupas Tuntas Hadits Tsaqolain (Dirosah Haditsiyah) part.4

, by Unknown

4.Hadits Zaid bin Tsabit

Tarkhrij Hadits

Hadits ini hanya memiliki satu jalur, yang berpusar pada Syarik Al-Qodhi dan disinilah letak khilafnya, sebab diriwayatkan darinya enam orang rowi tanpa menyebutkan kalimat ما إن تمسكتم به لن تضلوا . yang menjadi khilaf adalah riwayat Al-Hammaniy dari Syarik, yaitu terkadang ia meriwayatkan tanpa kalimat tersebut, dan terkadang menyebutkannya. Berikut perinciannya :

Riwayat pertama

Dari syarik, dari Ar-Rokin, dari Al-Qosim bin Hassan, dari Zaid bin Tsabit Ia berkata : Rosulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda :

 إني تارك فيكم خليفتين كتاب الله حبل ممدود ما بين السّماء والأرض ، وعترتي أهل بيتي , وإنهما لن يتفرقا حتى يردا على الحوض

“sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua kholifah, kitabullah yang merupakan tali yang menjuntai diantara langit dan bumi, dan ‘itrohku ahli baitku, dan kedua-duanya tidak akan terpisah sampai bertemu denganku di  haudh.”

[kalimat حبل ممدود ما بين السّماء والأرض hanya terdapat dalam riwayat Imam Ahmad, dan selain itu dari riwayat yang lain].

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (Mushonnaf 6/309 31679) ia berkata : telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Sa’ad, Abu Daud al-Hufriy.

Ahmad (Musnad 5/181 21697, Fadhoil Ash-Shohabah 2/603 1032) ia berkata : telah menceritakan kepada kami Al-Aswad bin ‘Amir.
Dan 5/189 21697 ia berkata : telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubairiy.

At-Thabroniy (Al-Kabir 5/153 4921) ia berkata : telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mas’ud Al-Maqdisiy, telah menceritakan kepada kami Al-Hutsaim bin Jamil (ح)
Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Al-Qoshim bin Masawir al-jauhariy, telah menceritakan kepada kami ‘Ishmah bin sulaiman Al-Khozzoz (ح)
Dan di jilid 5/154 4922 ia berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ubaid bin Ghonnam, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah.
Dan no.4923 ia berkata : telah menceritakan kepada kami ‘Ubaid bin Ghonnam, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Sa’ad, Abu Daud Al-Hufariy.

Keenam-enam dari mereka (Abu Daud, Al-Aswad, Abu Ahmad, Al-Hutsaim, ‘Ishmah, dan Abu Bakr) semuanya dari Syarik.

Riwayat Kedua

Yang menjadi khilaf ada pada riwayat Yahya bin ‘Abdil Hamiid Al-Hammaniy.

Di dalam Musnad 1/107 240, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :  

إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا كتاب وعترتي أهل بيتي, وإنهما لن يتفرقا حتى يردا على الحوض

“sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian suatu perkata yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya tidak akan tersesat, kitabullah dan ‘itrohku ahli baitku, dan kedua-duanya tidak akan berpisah sampai bertemu denganku di haudh.”

Ath-Thabroniy di dalam Ak-Kabir 5/153 4921, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إني تارك فيكم خليفتين من بعدي كتاب الله وعترتي أهل بيتي, وإنهما لن يتفرقا حتى يردا على الحوض

“sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua kholifah sepeninggalanku, kitabullah dan ‘itrohku ahli baitku, dan kedua-duanya tidak akan berpisah sampai bertemu denganku di haudh.”

Dirosah Haditsiyyah

Sebelumnya telah kami sebutkan bahwa telak khilafnya ada pada Syarik Al-Qodhi, ia adalah seorang yang ‘Alim, ‘Abid, Tsiqoh, haditsnya banyak, akan tetapi mempunyai benyak kesalahan juga, sehingga terjadi perbedaan pendapat diantara ulama jarh wa ta’dil. Kesimpulannya adalah bahwa haditsnya diterima jika tuuba’ (ada riwayat lain yang mengikuti) begitu juga jika ber-tafarrud dan tidak menyelisihi riwayat lainnya, jika ia menyelisihi riwayat rowi tsiqoh lainnya maka riwayat yang lain lebih baik darinya sebagaimana yang difahami dari perkataan Ibnu Ma’in dan Ahmad.

Dan disini tidak didapatkan adanya penghalang yang menyebabkan hadits Syarik ini ditolak, sehingga paling tidak derajat haditsnya adalah hasan. Apalagi mempunyai syahid yang banyak. Begitu pula dengan rowi lainnya seperti Ar-Rokin (tsiqoh), dan Qoshim bin Hassan (ditsiqohkan) dan tidak dijarh.

Adapun khilaf terdapat pada Hammaniy dari Syarik, yang terbatas diantara ‘Abd bin Humaid dan Abu Husein Al-Qodhi, yang pertama diriwayatkan dengan tambahan ما إن تمسكتم به لن تضلوا, sedangkan yang kedua tidak menyebutkannya.

Sebelum mentarjih perbedaan ini kami katakan bahwa dampak khilaf tidak begitu berpengaruh diantara keduanya. Sebab lafadz ‘Abd bin Humaid bukanlah sebuah kesalahan menurutku, ‘ibarohnya tidak menyelisihi jumhur dalam makna. Karena huruf wauw (الواو) apa kalimat (و عترتي) adalah wauw isti’taf bukan wauw ‘athof.

Sehingga makna haditsnya adalah “sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian, tidak akan tersesat jika kalian berpegang tegung padanya kitabullah, dan sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian ahli baitku, maka diwasiatkan pada kalian untuk berbuat baik kepada mereka,” kalimat terakhir ini adalah khobar muqoddam, dihapus karena susunan kalimat, akan tetapi hadits Zaid bin Arqom menunjukkan dalil yang jelas sekali akan hal ini.

Yang juga menunjukkan bahwa kata tamassuk (berpegang teguh) hanyalah dengan kitabullah adalah lafadz tamassaktum bihi تمسكتم به(berpegang teguh kepadanya) dan tidak mengatakan tamassaktum bihima تمسكتم بهما(berpegang teguh kepada keduanya) yang mana dhomirnya digunakan untuk munfarid ghooib satu orang yang tidak Nampak yang kembali ke kitabullah tanpa ‘itroh. Sampai disini tidak ada isykal dalam hadits, dan tidak perlu merojihkan salah satunya.
Jika ada yang membantah masalah dhomir ini dan mengatakan : secara bahasa tidak masalah jika dhomir bihi (yang biasa digunakan untuk satu orang) juga digunakan untuk dua, jadi kembali ke kitabullah dan ‘itroh sebagaimana hadits ‘alaikum bisunnatii wasunnatiikhulafaai ar-rosyidina min ba’dii, tamassakuu bihaa, wa ‘addhu ‘alaiha binnawaajidz 

 عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ بَعْدِي عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Mereka katakan : hadits ini menggunakan dhomir untuk satu orang/satu hal (biha wa ‘alaiha) بها و عليها dan bukan bihima wa ‘alaihima (dhomir untuk dua orang) بهما و عليهما

Maka kita jawab : na’am, akan tetapi dua perkara yang disebutkan adalah satu jenis, sebab sunnah Nabi shallallahu ‘alahi wasallam dan sunnah ar-roosyidin adalah satu perkara yang mencakup semua sunnahnya, jika menggunakan dhomir بهما و عليهما maka ini menunjukkan dua perkara yang berbeda, oleh karenanya kita tidak mengatakan bahwa bahwa para kholifah ma’sum, perkataan dan perbuatan mereka adalah sunnah, sebab sunnah bagi kita adalah sesuatu yang pernah terjadi dari Nabi shallallahu ‘alahi wasallam baik dari perkataan, perbuatan, dan taqriri beliau.

Adapun pembahasan kita ini tidak diragukan lagi bahwa kitab dan ‘itroh bukanlah satu perkara, diantara keduanya terdapat perbedaan yang signifikan. Jika dikatakan bahwa dhomirnya kembali pada keduanya maka seakan-akan ianya adalah satu perkara atau sejenis dan ini jelas berbeda. Al-Qur’an adalah kalamullah, sedangkan ‘itroh adalah manusia yang terkadang benar dan salah, sekiranya yang diinginkan adalah berpegang teguh pada keduannya niscaya yang digunakan harus بهما bukan به, dengan demikian ‘itroh menjadi suatu yang ma’shum dan sebuah syariat, dan ini tidak ada satupun orang berakal yang mengatakannya.

Sekiranya yang dibutuhkan adalah tarjih, maka kita katakan bahwa kedua rowi tadi adalah tsiqoh semuanya, meskipun ‘Abd bin Humaid lebih tsiqoh dari Abu Hushoin akan tetapi riwayatnya akan tampak lebih rojih dengan dalil dari selainnya, yaitu riwayatnya sesuai dengan riwayat jumhur dari rowi-rowi tsiqoh yang meriwayatkan dari Syarik, yang menjadikan kita lebih mengutamakan riwayatnya daripada riwayat ‘Abd bin Humaid. Jika tarjih tidak dibutuhkan maka sudah kami sebutkan sebelumnya bahwa diantara dua riwayat tidak ada ta’aarudh atau pertentangan.

Wallahuta’ala ‘alam.
Madinah Nabawiyah, 14051435 H
sumber : حديث الوصية بالثقلين دراسة حديثية, د. منصور محمود الشرايري


0 comments:

Post a Comment