Kedudukan Sahabat Dalam Al-Qur'an, Cukup Mengeluarkan Mereka dari Syi'ah
Syeikh hafidzohullah berkata : “kemudian bagi mereka
yang mempelajari keadaan atau kedudukan sahabat, anggaplah beberapa orang
diantara mereka memiliki keburukan (sebagaimana yang mereka klaim), tapi apakah
semuanya begitu? Tentu saja tidak..! Lantas bagaimana mereka bisa menghukumi
seluruh sahabat yang sangat banyak itu hanya dengan segelintir dari mereka yang
melakukan kesalahan? Mengapa mesti disamaratakan, bukankah mereka para sahabat telah
berjuang dengan harta mereka, berkorban demi Islam?
Lihatlah, perhatikan bagaimana al-Qur’an mensifati para
Sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshor, dan sifat yang ada pada
pribadi-pribadi tertentu dari mereka ridwaanullahi ‘alaihim. Mereka
adalah orang-orang yang dikatakan oleh Nabi shallallahu’alahi wasallam ketika
hendak berjihad :
“aku tidak
memperoleh kendaraan untuk membawamu, lalu mereka kembali sedang mata mereka
bercucuran air matakarena sedih disebabkan mereka tidak memperoleh apa yang
akan mereka infaqkan (untuk ikut berperang).”
Orang-orang seperti ini; yang membela agama, yang kokoh
imannya sekali-kali tidak akan menjual aqidah mereka hanya untuk kekuasaan, kiranya
apa maslahat yang ingin mereka kejar?.
Sumber masalah sebenarnya ada pada kedudukan sahabat di
dalam Al-Qur’an, sekiranya mereka mau menelaahnya -hanya masalah kedudukan
sahabat di dalam al-qur’an saja- cukup bagi mereka untuk meninggalkan syiah.
Sebab syiah berdiri atas pengkhianatan atau kebencian terhadap sahabat,
pemikiran bahwa ada imam-imam tertentu yang telah diutus oleh Allah, dan disana
ada perkara yang diketengahkan dan sahabat yang merusak perkara tersebut dan
merebutnya dari pemiliknya (menurut klaim mereka). Jadi mencela sahabat adalah
bagian pokok dalam aqidah syiah, karena syi’ah berdiri diatasnya. Dan termasuk kelicikan
orang-orang syi’ah adalah dalam penukilan sejarah yang mereka ambil dari kitab-kitab
sejarah yang pada hakikatnya penuh dengan penipuan, sejarah yang dhoif, kontradiksi,
dan sebagiannya menyelisihi manhaj atau metode tarikhi dalam dirosah penukilan
sejarah. Dan mereka meninggalkan ayat al-Qur'an
yang sangat jelas dan gamblng, menjelaskan kenyataan kaum muslimin pada waktu
itu, dan generasi terbaik yang pernah ada.
Jika seandainya kita adakan muqoronah atau studi
banding antara sahabat para Nabi dan sahabat Nabi Muhammad shallallahu’alahi
wasallam, niscaya kita akan menemukan bahwa para sahabat Nabi أنظف(lebih bersih), أطهر )bersih
suci( dari generasi
lainnya yang pernah dikenal sepanjang
sejarah manusia. Tentunya para Rosul sangatlah banyak, akan tetapi jika kita
melihat ‘ulul azmi yang ada 5 (lima); nabi Nuh, Ibrohim, Musa, Isa dan Muhammad
sholaatullahi wa salaamuhu ‘alaihim. Nabi Nuh ‘alaihissalam selama 650
tahun berdakwah, na’am mengucapkannya begitu mudah, akan tetapi bukan urusan
yang gampang jika seseorang hidup 600 tahun bersama kaumnya menyeru mereka pada
tauhid namun ternyata hasilnya nihil, tidak ada yang beriman kepadanya kecuali
sangat sedikit. Bahkan yang sedikit itu tidak kita temukan pujian untuk mereka
di dalam al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an sahabat Nabi Nuh ‘alaihissalam yang sedikit ini hanya disinggung dengan
ungkapan alladzina ma’ahu, waman ma’ahu, wan man ma'aka (“mereka adalah
orang-orang yang bersamanya”, “dan yang bersamanya”, “dan yang bersamamu”) Tapi
kata-kata pujian tidak kita dapatkan di dalamnya. Padahal yang sedikit ini merupakan suatu keistimewann,
ما آمن معه إلا قليل “tidak ada yang beriman kepadanya
kecuali sedikit.”
Ada pun Nabi Ibrohim ‘alaihissalam dengan segala
kemampuannya untuk membangun tauhid, tapi hasilnya beliau tidak mendapatkan
pengikut. Dikatakan dalam al-Qur’an كان إبراهيم أمة dan beliau hanya sendiri, jikalau
anak-anak beliau bukan para Nabi maka dikatakan bahwa beliau tidak mendapatkan
sahabat sama sekali. Ketika anda melihat kisah Nabi Musa ‘alaihissalam maka
anda akan tercengang karena bani Isroil yang telah melihat mukjizat nyata Nabi
Musa yang dapat mereka pegang dengan tangan, tapi apa yang telah mereka perbuat
kepadanya, mereka mengatakan :
قالوا أوذينا من قبل أن تأتينا ومن بعد ما
جئتنا “mereka (kaum Musa) berkata : “kali telah
ditindas (oleh fir’aun) sebelum engkau datang kepada kami, dan setelah engkau
datang kepada kami”. Yaitu mereka telah menuduh bahwa Musa adalah salah satu
penyebab siksaan yang mereka derita, lalu mereka mengatakan :
فَاذْهَبْ
أَنتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ “maka
pergilah engkau bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, biarlah kami
tetap menanti disini saja.”
Lalu beliau mengadukan perkara tersebut kepada Tuhannya,
قَالَ رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي
وَأَخِي ۖ “Ya tuhanku aku hanya menguasai diriku sendiri
dan saudara ku.” dan saudaranya adalah Nabi. Beliau berkata
tentang sahabatnya bukan tentang mereka yang kafir terhadapnya, melainkan bani
Isroil yang telah beriman kepadanya. Mereka pergi tak kembali, tidak ikut
berperang dan memanggil Nabi mereka sendiri dengan “Wahai Musa’’, sebagimana
yang termaktub di dalam al-Qur’an.
Adapun Nabi Isa ‘alaihissalam kalau kita memperhatikan
al hawariyyin yang khusus bagi isa, masihiyun mengatakan bahwa mereka ini Rosul,
orang-orang khusus bagi Nabi Isa ‘alaihissalam.
إذ قال الحواريون يا عيسى ابن مريم هل يستطيع ربك أن
ينزل علينا مائدة من السماء قال اتقوا الله إن كنتم مؤمنين . “(ingatlah)
ketika hawariyun (pengikut-pengikut Nabi Isa yang setia) berkata : “Wahai ‘Isa
putra Maryam, bersediakah Tuhammu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?”
Isa menjawab : “bertaqwalah kepada Allah jika kamu orang-orang yang beriman.” Padahal
mereka adalah orang-orang yang sangat dekat kepada Nabi Isa ‘alaihissalam.
Tapi mari kita lihat sahabat nabi yang membuat badan
kita bergetar, yang berkata kepada Nabi shallallahu’alahi wasallam :
يا
رسول الله لو خضت بنا البحر لخضناه معك
“wahai Rosulullah, sekiranya engkau mengajak kami untuk
mengarungi lautan, niscaya akan kami arungi ia bersama mu.”
Mereka sama sekali tidak membangkang, dan mereka
benar-benar berkhidmat pada nabi selama 13 tahun berada dibawah ta'dzim.
Berhijrah ke Habasah dengan iman yang tertancap didalam hati, padahal yang
mereka tuju adalah tempat yang gersang, apa maslahat bagi mereka? padahal pergi
meninggalkan keluarga mereka, menginfaqkan harta mereka. Begitu pula disaat Nabi
berkata : “aku telah pergi ke langit, sidrotu muntaha,” apakah ada satu saja dari sahabat yang memintanya
untuk menyebutkan dalil atau ragu dengan apa yang dikabarkan oleh Nabi
shallallahu ‘alahi wasallam?, yang ragu adalah musyrikin. Adapun sahabat
terutama Abu Bakar ash-shiddiq -disebut shiddiq karena peristiwa tersebut-, “aku
mempercayainya meskipun ada perkara yang
lebih besar lagi dari itu.”
Lalu mereka pergi ke Madinah dan disambut oleh anshor yang
sangat mencintai kaum muhajirin sebagaimana yang disebutkan Al-Qur’an, “mereka
mencintai orang-orang yang telah berhijrah ketempat mereka, dan mereka tidak
menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka
(muhajirin). Dan mereka mengutamakan muhajirin atas dirinya sendiri meskipun
mereka juga memerlukan.”
Ini adalah pujian untuk mereka didalam Islam, mereka
telah berperang, beralih dari satu perang ke peperangan yang lain. Sama sekali
mereka tidak berkeluh kesah dan berpaling, yang memberontak adalah orang-orang
munafiq. Ketika Nabi wafat beliau shallallahu ‘alahi wasallam tidak meminta
mereka untuk menaklukkan Negara lain, tidak membebani dan memberi mereka
tanggung jawab akan tetapi karena ingin menyebarkan agama ini, kecintaan mereka
pada risalah, dan kecintaan mereka untuk menyebarkannya, menghadapi berbagai
macam mara bahaya, sebab jumlah mereka tidak banyak, akan tetapi karena iman
dan tsiqoh kepada Allah, maka Islam pun tersebar keseluruh penjuru dunia. Tidak
pernah terjadi sepanjang sejarah manusia seperti yang ada pada masa Abu Bakar
dan Umar rodhiallahu ‘anhuma. Selama 14 tahun para sahabat mampu meruntuhkan
imperium Persia dan mengalahkan kekaisaran Romawi.
Pasukan yang sangat kuat dan luar biasa itu yang telah
dipersiapkan di Madinah. Tentu akan ada orang yang hasad dan memusuhi mereka,
berusaha untuk menghancurkan citra mereka. Akan tetapi terhadap mereka, para sahabat rodhiallahu ‘anhum kita harus menghormati, menghargai jasa
mereka.
Wallahuta’ala ‘alam..
Semoga bermanfaat..
____________________
Madinah Nabawiyah, 22-05-1435 H
Abu Syafiq ‘Abdisy Syafii bin Helmi bin Su’ud.
Tweet
0 comments:
Post a Comment