Makna Al-Jaami’ (الجامع), Al-Muwattho’ (الموطأ), dan Al-Mushonnaf (المصنف)
Ikhwatii fillah a’azzaniallahu wa iyyakum jami’aa..
Disaat kita membaca artikel, atau pembahasan seputar
hadits, seringkali kita menemukan istilah-istilah yang tidak asing seperti;
Al-Jaami’, Al-Muwattho’, Al-Mushonnaf, dan lain sebagainya. Meskipun ianya
kerap terdengar ditelinga kita, namun mungkin, sebagian teman-teman ada belum
mengerti dengan makna istilah-istilah tsb. Oleh karena itu, pada kesempatan
kali ini kami ingin mengupas sedikit makna dari istilah-istilah yang ada pada
ilmu hadits itu. Selamat menyimak…
Ahibbatii rohimanii wa
rohimakumullah..
Ketiga macam kitab yang kami
sebutkan di atas, dikarang atau disusun oleh para ulama pada abad ke-2
Hijriyah. Kitab-kitab yang mengumpulkan berbagai macam pembahasan dan bab-bab dalam
satu kitab. Ketiga
kitab ini sama-sama tidak terbatas pada hadits-hadits yang bersambung sanadnya
hingga Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja, akan tetapi juga mencakup
atsar-atsar para sahabat, tabi’in, dan generasi yang datang setelah mereka.
Selain itu, juga sama-sama disusun menurut bab-bab
fiqh, dan tidak mensyaratkan hadits yang shohih. Sedangkan perbedaannya
terletak pada tujuan disusunnya kitab-kitab tersebut.
Yang pertama, Al-Jaami’ (الجامع)
Al-Jaami’ ini berasal dari
kata Al-Jam’u yaitu mengumpulkan sesuatu yang terpisah, dan menjadikannya di
satu tempat, bermaterikan bab-bab ilmu dengan satu orang penyusun.
Kitab Al-Jaami’ yang paling
masyhur ialah :
1. Al-Jaami’ karya Ibnu
Jureij (150 H),
2. Al-Jaami’ karya Ma’mar bin
Rosyid (154 H)
3. Al-Jaami’ karya Sufyan
Ats-Tsauri (161 H)
4. Al-Jaami’ karya ‘Abdullah
bin Wahb (167 H) dan lain-lain.
Akan tetapi, Al-Jaami’ pada
masa itu (abad ke-2 H) tidak mencakup seluruh bab-bab fiqh sebagaimana Jaami’
Ma’mar, Jaami’ Ibnu Wahb. Kemudian pada abad ke-3 Hijriyah penggunaan istilah
Jaami’ mulai berkembang, tidak terbatas pada hadits-hadits ahkam saja (sebagaimana
kitab-kitab Sunan), melainkan ditambah dengan hadits-hadits seputar aqidah,
tafsir, sejarah, adab, roqoiq, fitnah, dst. Al-Jaami’ pada masa itu (abad ke-3)
juga berkisar pada hadits-hadist yang sampai kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam saja (hadits marfu’), berbeda dengan Al-Jaami’ yang ditulis
pada abad ke-2 hijriyah.
Yang kedua,
Al-Muwattho’ (الموطأ)
Ditinjau dari sisi bahasa,
muwattho’ berarti terbentang, mudah. Dan dari penamaan inilah kitab Muwattho’
disusun, yaitu mempermudah mengambil manfaat hadits-hadist dari segi fiqh, ilmu,
dan pengamalan. Oleh sebab itu, di Muwattho’ Imam Malik rohimahullah kita akan
menemukan tambahan selain hadits-hadits dan atsar, yaitu; pemahaman, pendapat,
dan kesimpulan beliau dari sendiri.
Salah satu kitab muwattho’
yang paling masyhur dan yang terbaik adalah Muwattho’ Imam malik (179 H) dimana
ianya menjadi salah satu ushul (pokok) kitab-kitab periwayatan hadits, bahkan
sebagian ulama memposisikannya di atas Shohih Bukhori dan Muslim. Akan tetapi
yang lebih rojih, adalah pendapat yang mengatakan bahwa Shohih Bukhori Muslim
lebih unggul sebab pada kitab Muwattho’ Imam Malik terdapat hadits-hadits
mursal dan maqthu’.
Perhatian dan sambutan para
ulama terhadap Muwattho’ Imam Malik sangat besar, terutama pembahasan ulang
perihal para rowinya, perbedaan riwayat yang ada, penjelasan hadits-hadits
ghorib, syarh-syarh, tarjamah para rowi, dan seterusnya.
Selain Muwattho’ Imam Malik,
ada juga Muwattho’ Ibnu Abi Dzi’b (109 H), Muwattho’ Ibrohim bin yahya al-aslamiy (184 H), Muwattho' Ibnu Wahb (197 H) dan
lain-lain.
Yang ketiga adalah
Al-Mushonnaf (المصنف)
Secara bahasa adalah sesuatu
yang terbagi menjadi beberapa macam, dan kategori. Begitu juga dengan
pengertiannya secara istilah, yaitu kitab yang dikarang dan disusun dalam
bab-bab fiqh, di dalamnya disebutkan hadits-hadits marfu’, mauquf, maqtu’,
mursal, fatwa-fatwa sahabat, tabi’in dan generasi yang datang setelah mereka.
Mushonnaf yang paling klasik
adalah Mushonnaf Ibnu Abi Laila (148 H) dan Hammad bin Salamah (167 H),
sedangkan yang sampai pada kita saat ini adalah mushonnaf ‘Abdurrozzaq (211 H)
dan Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah (235 H). Adapun kitab Mushonnaf yang tidak
sempat untuk kita nikmati ialah Mushonnaf
Baqi bin Mikhlad Al-Qurthubiy (276 H).
Meskipun terdapat banyak pembagian
yaitu dengan banyaknya kitab dan bab-bab, namun dalam kedua mushonnaf (karya ‘Abadur
Rozzaq dan Ibnu Abi Syaibah) tersebut kaya akan kandungan materi ilmiyah yang
melimpah, penyusunan bab yang teratur, dan kompilasi yang baik, terutama
mushonnaf Ibnu Abi Syaibah.
Demikian penjelasan super
singkat dari kami, semoga ada manfaatnya bagi kita semua.
________
MED, 17 Rabi’ul Awwal 1436 H.
Tweet
0 comments:
Post a Comment