NYUNNAH DENGAN SUNNAH
Kali ini, saya akan berbagi kisah penuh
hikmah, sekaligus cambuk bagi diri pribadi dan teman-teman sekalian yang
mungkin pernah mengalami hal serupa. Satu kejadian yang diceritakan guru kami
saat menjelaskan salah salah hadits dari kitab Shohih Bukhori, beliau hafidzohullah menceritakan
sebuah kisah singkat namun sarat akan makna, kurang lebih begini kisahnya :
Suatu saat, usai sholat berjamaah di sebuah masjid, ada
salah seorang jamaah asal Mesir ingin bersalaman dengan jamaah lainnya yang
sudah mengenal sunnah. Tatkala jamaah asal Mesir mengulurkan tangan kanannya,
seketika ia dengan tegas namun keras mengatakan “bid’ah.,!” sambil menepis
tangan yang menjulur di hadapannya.
Spontan jamaah yang ditepis tangannya berucap :
“APAKAH CARA ANDA INI, TERMASUK SUNNAH..?!
(selesai)
Ya Subhaanallah, mendengar cerita ini serentak ruangan
kelas bergemuruh oleh suara mahasiswa dengan komentar masing-masing, tampaknya
sebagian mereka menyesalkan apa yang telah dilakukan oleh orang yang terlihat
telah menjalankan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, atau mungkin
ada pula yang tersentak dengan perkataan jamaah yang ingin bersalaman tadi.
Saya pribadi termasuk mahasiswa yang hanya mampu “geleng-geleng kepala” sedang
dalam hati meng-iya-kan apa yang diucapkan oleh jamaah tadi dan bergumam :
“Ini adalah salah satu dari sekian banyak kejadian yang
dialami oleh mereka (mungkin salah satu dari mereka adalah saya) yang dengan
lantang menyuarakan sunnah, akan tetapi terjatuh dalam kesalahan fatal yang
menimbulkan dampak negative bagi dakwah sunnah itu sendiri. Allahul Musta’aan,
ampunkan kami ya Ghoffar..”
Pelajaran yang dapat dipetik :
Sejatinya, sunnah itu sendiri mengandung makna akhlak
yang mulia, lemah lembut dalam bertingkah dan bertutur kata, sopan santun,
serta perilaku terpuji lainnya. Maka, akhlak yang mulia itu adalah sunnah,
sunah yang sudah mulai tersingkirkan, sunnah yang dianak tirikan. Betapa banyak
orang yang membenci sunnah karena kejelekan akhlak dan perilaku penjunjung
sunnah itu sendiri. Padahal Rasulullullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia,
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
baik.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Ahmad, dan
Al-Hakim. Dinyatakan Shohih oleh Syaikh Al-Albani)
Dahulu, para salafus Sholeh sangat
memperhatikan akhlak dan adab.
Ibnul Mubarok berkata,
تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً،
وتعلمنا العلم عشرين
“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun,
sedangkan mempelajari ilmu selama 20 tahun.” (Ghoyatu
An-Nihayah Fii Thobaqoti Al-Qurro’ 1/198)
Beliau juga berkata,
كاد الأدب يكون ثلثي العلم
“Hampir-hampir adab itu bagian sepertiga dari ilmu.” (Shifatu As-Shofwah 4/ 145)
Ibnu Sirin berkata,
كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون
العلم
“Mereka (para ulama) dahulu mempelajari petunjuk (adab)
sebagaimana mereka mempelajari ilmu.” (Al-Jami’
Li Akhlaqi Ar-Rowi Wa Adabi As-Sami’ 1/80)
Sebagian salaf berkata :
نحن إلى قليل من الأدَب أحوجُ منا
إلى كثيرٍ من العلم
“Kami lebih butuh mempelajari adab daripada banyak
menguasai ilmu.” (Madarijus Salikin 2/376)
‘Abdullah bin Wahb berkata,
ما نقلنا من أدب مالك أكثر مما
تعلمنا من علمه
“Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal
adab dibanding ilmunya.” (Siyar
A’lamin Nubala’ 8/113)
Sufyan Ats-Tsauriy berkata :
كانوا لا يخرجون أبناءهم لطلب
العلم حتى يتأدبوا ويتعبدوا عشرين سنة
“Dahulu mereka (para ulama) tidak memperkenankan
anak-anak mereka untuk keluar menuntut ilmu sampai mereka memiliki adab dan
beribadah selama 20 tahun.” (Hilyatu
Al-Awliya’ 6/316)
Al-Hasan Al-Bashriy berkata,
كان الرجل يطلب العلم فلا يلبث أن
يُرى ذلك في تخشّعه وهديه ولسانه ويده
“Dulu, bila seseorang telah menuntut ilmu, maka tidak
lama kemudian akan terlihat pengaruhnya pada kekhusyuannya, lisannya, dan
tangannya.” (Az-Zuhd Ibnu Mubarok 26)
Zakariya Yahya bin Muhammad Al-‘Anbariy berkata,
علم بلا أدب
كنار بلا حطب ، وأدب بلا علم كجسم بلا روح
“Ilmu tanpa adab bagaikan api tanpa kayu, dan adab tanpa
ilmu bagaikan badan tanpa ruh.” (Al-Jami’ Li
Akhlaqi Ar-Rowi Wa Adabi As-Sami’ 1/80)
Oleh karenanya, mulai saat ini mari kita mengamalkan dan
mengajak orang lain pada sunnah sesuai dengan sunnah ( akhlak ) yang telah
dicontohkan oleh Baginda Rasul Muhammad sallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam ucapan
maupun perbuatan.
Sekian, semoga ada manfaatnya.
Wallahu Ta’ala A’lam wa Ahkam.
__________
MED, 28 Rabi’ul Awwal 1436 H.
Hedi Kurniadi bin Helmi bin Su’ud
Tweet
jazakumulloh khoiron...
ReplyDeletecerita yang sangat mengena