Imam Ahmad Berhujjah dengan Hadits Dhoif dalam Fadhoil Amal..???

Syarh Ikhtishor 'Ulumi Al-Hadits bag.7
Pengertian hadits dhoif lihat disini : http://ibnuhilmy.blogspot.com/2014/01/debat-ilmiyah-ala-ahli-istilah.html dan disini : http://ibnuhilmy.blogspot.com/2014/01/sifat-sifat-qobul-lanjutan-debat.html.
Ulama bersepakat jika hadits terbagi menjadi
dua, hadits shohih dan hadits dhoif. Sedangkan yang menjadi perselisihan adalah
apakah ada hadits hasan atau tidak, namun setelah zaman Imam Tirmidzi [yang
sering kali menggunakan istilah hasan] sampai saat ini pembagian hadits menjadi
tiga; hadits shohih, hasan, dan dhoif.
Pada hakikatnya sifat yang hilang pada hadits
dhoif itu kembali kepada dua perkara (baik yang khofiifu ad-dho’fi maupun yang syadidu ad-dho’fi)
a) At-tho’nu
fi ar-rowi, yaitu kekurangan atau cacat yang ada pada rowi itu sendiri,
seperti hadits maudhu’,
matruk, munkar, mu’allu, mukholafatu as-tsiqoot, mudroj, maqlub,
al-maziid fi muttashil asaanid, mudthorib, mushohhaf, syadz, dan yang lainnya.
b) As-saqthu
fi al-isnad, yaitu sanad yang terputus, seperti hadits mu’allaq, mursal, mu’dhol,
munqothi’, mudalls, mursal khofi, mu’an’an, mauquf, maqthu’, dan lain
sebagainya.
Lantas bagaimana hukumnya beramal dengan
hadits dhoif? benarkan Imam Ahmad membolehkan berhujjah dengan hadits dhoif
untuk fadhoil amal?
Secara umum, hadits dhoif terbagi lagi
menjadi dua, yaitu khofiifu
ad-dho’fi [ringan dhoifnya]
dan syadiidu ad-dho’fi [parah dhoifnya atau dhoif sekali].
Hadits yang ringan dhoifnya inilah yang
menjadi perbedaan pendapat diantara para ulama, apakah haditsnya diamalkan atau
tidak? Terutama pada bab fadhoil amal dan targhib wa tarhib. Sedangkan yang
kedua yaitu hadits yang syadid dho’ifnya, ulama sepakat jika
haditsnya tidak diamalkan dalam urusan agama secara mutlak.
Letak perbedaan pada hadits khofiifu ad-dho’fi kembali kepada pertanyaan,
bagaimana jika hadits tersebut mengandung tambahan ilmu untuk hadits shohih?.
Jika dikatakan boleh beramal dengan hadits dhoif, maka secara otomatis amal
tersebut dihukumi mustahab. Adapun makruh dan harom maka keduanya tidak
diamalkan sama sekali. Sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa hadits dhoif
tidak boleh diamalkan baik dalam fadhoil amal maupun targhib dan tarhib.
Kenapa? Sebab hukum mustahab juga termasuk dari syari’at. Dan hadits dhoif yang
diragukan keshohihannya tidak dapat dijadikan landasan hukum syari’at.
Akan tetapi [sepanjang pengamatan syeikh
selama ini] hadits yang khofiifu
ad-dho’fi, yaitu seperti mastur,
majhul hal, sayyiu al-hifdzi (jelek hafalan perowinya), dan lain sebagainya
jika hadits tersebut diamalkan oleh tabi’in dan atba’u at-tabi’in maka perkara
tersebut maqbul menurut kebanyakan ulama. Seperti
hadits Laila binti Qonif ast-tsaqofiyah dalam masalah memandikan jenazah anak
perempuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Rosulullah memberikan
kepadanya 5 helai kain. Sedangkan untuk laki-laki dengan 3 potong kain kafan.
Akan tetapi didalam haditsnya tersebut terdapat dua orang rowi yang bermasalah,
yang pertama majhul (tidak
diketahui identitas perowi), dan yang kedua ada namanya Daud dan dia tidak
dikenal. Maka sebagian ulama mendhoifkan hadits ini dan mengatakan bahwa tidak
ada perbedaan antara kafan laki-laki dan perempuan. Sedangkan yang ada di
hadits Ummi ‘Athiyah hanya dengan satu helai kain saja.
Nah, hadits Laila diatas tidak diragukan lagi
kedhoifannya, sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, akan tetapi rowi
tersebut dhoifnya tidak syadid seperti pendusta misalnya, atau muttaham, atau fahsyul gholat, akan tetapi
hanya sayyiu al-hifdzi sehingga hadits ini diterima dan
diamalkan oleh umat, Hasan Al-Bashri berkata bahwa hadits tersebut diamalkan,
begitu juga dengan jumhur ahli fiqh yang berpendapat bahwa kafannya wanita
adalah lima potong, dan untuk laki-laki sebanyak tiga potong kain kafan.
Dan bagi ulama yang berpandangan bahwa hadits
tersebut dhoif, maka mereka masih tetap mengatakan bahwa kafan wanita seperti
kafan laki-laki. Namun apakah hadits tersebut dhoif secara mutlak? Ternyata
tidak demikian, Imam Tirmidzi menghasankan, Hasan Al-Bashri dan sejumlah
fuqohaa’ juga mengamalkan hadits tersebut, begitu juga dengan ulama hadits. Dan
sekali lagi kita katakan bahwa ini contoh dari hadits dhoif yasiiru ad-dho’f yang didukung oleh pengamalan tabi’in.
Namun perbedaan pendapat dikalangan ulama
dalam masalah ini (pengamalan hadits dhoif) masih terus berlangsung sampai saat
ini, dan syeikh-hafidzohullah- sebagaimana yang beliau tulis di kitannya Mu’jamu Al-Mustholahaat,
beliau berpendapat tidak boleh diamalkan dengan alasan jika kita mengamalkan
hadits dhoif maka kita telah menjadikan amalan tersebut sebagai amal yang
disunnahkan, sedangkan istihbab bagian dari syari’at yang tidak boleh dibangun
dengan hadits dhoif.
Apakah Imam Ahmad Beramal dengan hadits dhoif
dalam masalah fadhoil amal?
Beliau-rohimahullah- berkata : إذا كان
الحديث في الحلال و الحرام شددنا, وإن كان في غير ذلك تساهلنا
Tasaahalnaa disini bukan berarti beliau berhujjah dengan
hadits munkar, maudhu’, dan yang sejenisnya, akan tetapi yang dimaksud adalah
hadits diantara shohih dan dhoif yang sekarang kita kenal dengan hasan.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim dan lainnya bahwa tasaahalnaa disini berarti dibawah derajat shohih,
akan tetapi diatas jenis-jenis hadits dhoif. Karena pada masa Imam Ahmad
istilah hasan ini belum muncul, maka beliau istilahkan dengan perkataannya
tersebut, yaitu “apabila dalam
masalah halal dan haram, maka kami bersikap tegas (berhujjah dengan hadits yang
jelas keshohihannya pent.) dan jika selain kedua pekara itu maka kami sedikit
longgar.”
Sehingga orang yang tidak faham dengan
perkataan imam Ahmad ini menisbatkan atau berhujjah mengamalkan hadits dhoif
dengan ucapan imam Ahmad tersebut.
Sedangkan orang yang faham, dan
menafsirkannya sebagaimana yang telah ditafsirkan Ibnu Taimiyah maka tetap
mengatakan bahwa hadits dhoif tidak boleh diamalkan, dan ini lah pendapat yang
lebih kuat.
Sebab Abu Daud rohimahullah didalam
menyusun bab-bab pada kitabnya mengikuti metode Imam Ahmad disejumlah tabwiibnya, ketika beliau
menyebutkan hadits dhoif maka sesungguhnya hadits tersebut bukan hadits munkar, bukan juga maudhu’, akan tetapi
dhoif khofifu ad-dho'fi,
sebab jika syadid dhoifnya akan beliau jelaskan meskipun
ada beberapa hadits yang dipungkiri. Oleh sebab itu yang dimaksud imam Ahmad
didalam perkataannya adalah hadits hasan.
Ibnu Hajar rohimahullah Menyebutkan Tiga Syarat dalam Mengamalkan
Hadits Dhoif :
1) Dhoifnya tidak syadid. Seperti rowi yukhti, yaitu jika meriwayatkan
100 hadits yang salah 20 umpamanya. Berbeda dengan yukhti’ katsiron dari 100 hadits yang salah 80
misalnya, maka yang seperti ini termasuk syadidu
ad-dho’f.
2) Hadits tersebut termasuk bagian dari pokok
ibadah yang dikerjakan, dan hadits tersebut tidak munkar. Dari sini sejumlah
ulama mengkategorikan sholat tasbih tidak ada asalnya dan tidak termasuk bagian
dari pokok sholat, sebab tatacaranya berbeda dengan sholat pada umumnya, akan
tetapi seseorang yang ingin memperbanyak nafilah tanpa mengharuskan dirinya mendapat
pahala atau dosa maka seperti ini tidak mengapa. Memang ulama berselisih
pendapat mengenai sholat tasbih, sebagian ada yang mengatakan sunnah sebab
hadits tersebut mempunyai syawahid,
dan ulama yang lain berpendapat bahwa sholat tersebut tidak boleh diamalkan.
3) Tidak berkeyakinan bahwa amalannya
tersebut berpahala. Sebab keyakinan akan pahala amal dari hadits dhoif
menjadikannya hadits hasan dan amal tersebut menjadi mustahab. Jadi boleh beramal
dan mengharap pahala dari Allah namun tidak meyakini amal tersebut pasti
berpahala. Misalnya hadits tentang sedekah
secara sembunyi dapat memadamkan kemarahan Allah . Na’am assirru atau sembunyi dalam beribadah termasuk
didalam bersedekah memang diperintahkan, tapi tidak mesti berkeyakinan jika
Allah tidak marah kepadanya jika ia melakukan dosa.
Jika kita melihat orang-orang yang lebih
memperhatikan beramal dengan hadits dhoif dalam fadhoil amal maulid misalnya,
maka jika ditanyakan kepada mereka apakah sudah mengamalkan hadits shohih ini
dan itu, maka mereka akan menjawab, belum bahkan tidak tahu dengan hadits
shohih tersebut, Wallahul
Musta'aan..
Wallahu A’lam…
________________________
Madinah Nabawiyah, 21-04-1435 H.
Majlis Syarh Ikhtishor 'Ulumi Al-Hadits karya
Imam Ibnu Katsir rohimahullah oleh syeikh Prof.DR. Muhammad Dhiyaau Ar-Rohman
Al-A'dzomiy-hafidzohullah.
Tweet
0 comments:
Post a Comment