Imam Ahmad Berhujjah dengan Hadits Dhoif dalam Fadhoil Amal..???

, by Unknown





Syarh Ikhtishor 'Ulumi Al-Hadits bag.7


Ulama bersepakat jika hadits terbagi menjadi dua, hadits shohih dan hadits dhoif. Sedangkan yang menjadi perselisihan adalah apakah ada hadits hasan atau tidak, namun setelah zaman Imam Tirmidzi [yang sering kali menggunakan istilah hasan] sampai saat ini pembagian hadits menjadi tiga; hadits shohih, hasan, dan dhoif.

Pada hakikatnya sifat yang hilang pada hadits dhoif itu kembali kepada dua perkara (baik yang khofiifu ad-dho’fi maupun yang syadidu ad-dho’fi)

a) At-tho’nu fi ar-rowi, yaitu kekurangan atau cacat yang ada pada rowi itu sendiri, seperti hadits maudhu’, matruk, munkar, mu’allu,  mukholafatu as-tsiqoot, mudroj, maqlub, al-maziid fi muttashil asaanid, mudthorib, mushohhaf, syadz, dan yang lainnya.

b) As-saqthu fi al-isnad, yaitu sanad yang terputus, seperti hadits mu’allaq, mursal, mu’dhol, munqothi’, mudalls, mursal khofi, mu’an’an, mauquf, maqthu’, dan lain sebagainya.

Lantas bagaimana hukumnya beramal dengan hadits dhoif? benarkan Imam Ahmad membolehkan berhujjah dengan hadits dhoif untuk fadhoil amal?

Secara umum, hadits dhoif terbagi lagi menjadi dua, yaitu khofiifu ad-dho’fi [ringan dhoifnya] dan syadiidu ad-dho’fi [parah dhoifnya atau dhoif sekali].
Hadits yang ringan dhoifnya inilah yang menjadi perbedaan pendapat diantara para ulama, apakah haditsnya diamalkan atau tidak? Terutama pada bab fadhoil amal dan targhib wa tarhib. Sedangkan yang kedua yaitu hadits yang syadid dho’ifnya, ulama sepakat jika haditsnya tidak diamalkan dalam urusan agama secara mutlak. 

Letak perbedaan pada hadits khofiifu ad-dho’fi kembali kepada pertanyaan, bagaimana jika hadits tersebut mengandung tambahan ilmu untuk hadits shohih?. Jika dikatakan boleh beramal dengan hadits dhoif, maka secara otomatis amal tersebut dihukumi mustahab. Adapun makruh dan harom maka keduanya tidak diamalkan sama sekali. Sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa hadits dhoif tidak boleh diamalkan baik dalam fadhoil amal maupun targhib dan tarhib. Kenapa? Sebab hukum mustahab juga termasuk dari syari’at. Dan hadits dhoif yang diragukan keshohihannya tidak dapat dijadikan landasan hukum syari’at.

Akan tetapi [sepanjang pengamatan syeikh selama ini] hadits yang khofiifu ad-dho’fi, yaitu seperti mastur, majhul hal, sayyiu al-hifdzi (jelek hafalan perowinya), dan lain sebagainya jika hadits tersebut diamalkan oleh tabi’in dan atba’u at-tabi’in maka perkara tersebut maqbul menurut kebanyakan ulama. Seperti hadits Laila binti Qonif ast-tsaqofiyah dalam masalah memandikan jenazah anak perempuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Rosulullah memberikan kepadanya 5 helai kain. Sedangkan untuk laki-laki dengan 3 potong kain kafan. Akan tetapi didalam haditsnya tersebut terdapat dua orang rowi yang bermasalah, yang pertama majhul (tidak diketahui identitas perowi), dan yang kedua ada namanya Daud dan dia tidak dikenal. Maka sebagian ulama mendhoifkan hadits ini dan mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara kafan laki-laki dan perempuan. Sedangkan yang ada di hadits Ummi ‘Athiyah hanya dengan satu helai kain saja.

Nah, hadits Laila diatas tidak diragukan lagi kedhoifannya, sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, akan tetapi rowi tersebut dhoifnya tidak syadid seperti pendusta misalnya, atau muttaham, atau fahsyul gholat, akan tetapi hanya sayyiu al-hifdzi sehingga hadits ini diterima dan diamalkan oleh umat, Hasan Al-Bashri berkata bahwa hadits tersebut diamalkan, begitu juga dengan jumhur ahli fiqh yang berpendapat bahwa kafannya wanita adalah lima potong, dan untuk laki-laki sebanyak tiga potong kain kafan.

Dan bagi ulama yang berpandangan bahwa hadits tersebut dhoif, maka mereka masih tetap mengatakan bahwa kafan wanita seperti kafan laki-laki. Namun apakah hadits tersebut dhoif secara mutlak? Ternyata tidak demikian, Imam Tirmidzi menghasankan, Hasan Al-Bashri dan sejumlah fuqohaa’ juga mengamalkan hadits tersebut, begitu juga dengan ulama hadits. Dan sekali lagi kita katakan bahwa ini contoh dari hadits dhoif yasiiru ad-dho’f yang didukung oleh pengamalan tabi’in.

Namun perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam masalah ini (pengamalan hadits dhoif) masih terus berlangsung sampai saat ini, dan syeikh-hafidzohullah- sebagaimana yang beliau tulis di kitannya Mu’jamu Al-Mustholahaat, beliau berpendapat tidak boleh diamalkan dengan alasan jika kita mengamalkan hadits dhoif maka kita telah menjadikan amalan tersebut sebagai amal yang disunnahkan, sedangkan istihbab bagian dari syari’at yang tidak boleh dibangun dengan hadits dhoif.

Apakah Imam Ahmad Beramal dengan hadits dhoif dalam masalah fadhoil amal?

Beliau-rohimahullah- berkata : إذا كان الحديث في الحلال و الحرام شددنا, وإن كان في غير ذلك تساهلنا
Tasaahalnaa disini bukan berarti beliau berhujjah dengan hadits munkar, maudhu’, dan yang sejenisnya, akan tetapi yang dimaksud adalah hadits diantara shohih dan dhoif yang sekarang kita kenal dengan hasan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim dan lainnya bahwa tasaahalnaa disini berarti dibawah derajat shohih, akan tetapi diatas jenis-jenis hadits dhoif. Karena pada masa Imam Ahmad istilah hasan ini belum muncul, maka beliau istilahkan dengan perkataannya tersebut, yaitu “apabila dalam masalah halal dan haram, maka kami bersikap tegas (berhujjah dengan hadits yang jelas keshohihannya pent.) dan jika selain kedua pekara itu maka kami sedikit longgar.”

Sehingga orang yang tidak faham dengan perkataan imam Ahmad ini menisbatkan atau berhujjah mengamalkan hadits dhoif dengan ucapan imam Ahmad tersebut.
Sedangkan orang yang faham, dan menafsirkannya sebagaimana yang telah ditafsirkan Ibnu Taimiyah maka tetap mengatakan bahwa hadits dhoif tidak boleh diamalkan, dan ini lah pendapat yang lebih kuat.

Sebab Abu Daud rohimahullah didalam menyusun bab-bab pada kitabnya mengikuti metode Imam Ahmad disejumlah tabwiibnya, ketika beliau menyebutkan hadits dhoif maka sesungguhnya hadits tersebut bukan hadits munkar, bukan juga maudhu’, akan tetapi dhoif khofifu ad-dho'fi, sebab jika syadid dhoifnya akan beliau jelaskan meskipun ada beberapa hadits yang dipungkiri. Oleh sebab itu yang dimaksud imam Ahmad didalam perkataannya adalah hadits hasan.

Ibnu Hajar rohimahullah Menyebutkan Tiga Syarat dalam Mengamalkan Hadits Dhoif :

1) Dhoifnya tidak syadid. Seperti rowi yukhti, yaitu jika meriwayatkan 100 hadits yang salah 20 umpamanya. Berbeda dengan yukhti’ katsiron dari 100 hadits yang salah 80 misalnya, maka yang seperti ini termasuk syadidu ad-dho’f.

2) Hadits tersebut termasuk bagian dari pokok ibadah yang dikerjakan, dan hadits tersebut tidak munkar. Dari sini sejumlah ulama mengkategorikan sholat tasbih tidak ada asalnya dan tidak termasuk bagian dari pokok sholat, sebab tatacaranya berbeda dengan sholat pada umumnya, akan tetapi seseorang yang ingin memperbanyak nafilah tanpa mengharuskan dirinya mendapat pahala atau dosa maka seperti ini tidak mengapa. Memang ulama berselisih pendapat mengenai sholat tasbih, sebagian ada yang mengatakan sunnah sebab hadits tersebut mempunyai syawahid, dan ulama yang lain berpendapat bahwa sholat tersebut tidak boleh diamalkan.  

3) Tidak berkeyakinan bahwa amalannya tersebut berpahala. Sebab keyakinan akan pahala amal dari hadits dhoif menjadikannya hadits hasan dan amal tersebut menjadi mustahab. Jadi boleh beramal dan mengharap pahala dari Allah namun tidak meyakini amal tersebut pasti berpahala. Misalnya hadits tentang sedekah secara sembunyi dapat memadamkan kemarahan Allah . Na’am assirru atau sembunyi dalam beribadah termasuk didalam bersedekah memang diperintahkan, tapi tidak mesti berkeyakinan jika Allah tidak marah kepadanya jika ia melakukan dosa.

Jika kita melihat orang-orang yang lebih memperhatikan beramal dengan hadits dhoif dalam fadhoil amal maulid misalnya, maka jika ditanyakan kepada mereka apakah sudah mengamalkan hadits shohih ini dan itu, maka mereka akan menjawab, belum bahkan tidak tahu dengan hadits shohih tersebut, Wallahul Musta'aan..

Wallahu A’lam…
________________________
Madinah Nabawiyah, 21-04-1435 H.
Majlis Syarh Ikhtishor 'Ulumi Al-Hadits karya Imam Ibnu Katsir rohimahullah oleh syeikh Prof.DR. Muhammad Dhiyaau Ar-Rohman Al-A'dzomiy-hafidzohullah.

0 comments:

Post a Comment